Natal 25 Desember 2010, setengah hari saja aku dirumah bersama keluarga. Jam 11 pagi ke Stasiun Banjar. Menumpang kereta api ke Lempuyangan. Penuh sesak kereta ternyata. Untung tadi g beli tiket. Merangsek masuk ke gerbong restorasi, ternyata penuh sesak. Hiruk pikuk manusia alangkah ramainya. Terpaksa duduk di lantai kereta api. Berjalan satu jam, lewatlah tukang arisan kereta api (kondektur). Dingin saja kuselipkan 10 ribu rupiah ke dalam tangannya, Kutoarjo Pak jawabku ketus. Berlalu saja dengan cepat. Hal ini sudah kulakukan sejak lama memang. Beli tiket kalau perjalanan jauh lebih dari 5jam saja. Karena pergantian kondektur biasanya setiap 4-5 jam perjalanan.
Dengan sedikit ikhlas di tengah udara yang memanas manasi, sampailah di Lempuyangan jam 4 sorean. Lupa saya siapa yang jemput, entah Poltak entah Dhanie keduanya kuliah di Pemerintahan UMY. Kalau Dhanie kemaren sudah sah dapet marga baru Sarjana Ilmu Politik. Sama seperti denganku. Kota ini tak asing lagi bagiku, jika ada waktu 2-3 hari, sering memang aku menghampirinya.
Tak ada hal lain yang kulakukan selama di Jogja, angkringan, keliling kota malam hari, tidur di siang hari, atau sekedar ngopi di warung tenda, tak jarang hanya nikmati malam di Code. Jogja memang sedikit tak ramah lagi. Banyak warung makan yang menyesuaikan Istimewa seperti Daerah Ibu Kota dan Ibu Tiri.
Tapi apapun itu, Jogja tak pernah bosan melihat lalu lalang sang pemboros di Malioboro, keramaian Kantor Pos, atau iring iringan Trans Jogja dikejar beca delman kota. Apapun itu, Jogja masih memiliki ke khasan Vredenburg, kampus pelajarnya, tempat dugemnya dan tak luput dengan sarkemnya.
Masih dari layar kaca melihat kebodohan Timnas Indonesia ditelan mentah mentah Malaysia di kontrakan Dhani. Biarlah itu cerita saja. Malam ini harus tidur, besok kita ke Bali.
Pagi menjelma, masih kudengar sayup sayup lantunan Jogja Istimewa di laptop Dhanie. Berangkat kami ke Stasiun Lempuyangan tak lupa mandi. Baru kali ini ada kereta bebas tempat duduk, padahal dari stasiun pertama. Biar g saling klaim kursi katanya. 35k saja Jogja - Banyuwangi.Berdua saja dengan Poltak. Duduk di kursi paling depan sekali gerbong pertama, yang nanti di Surabaya diputar kepala jadi gerbong terakhir.
Kenapa duduk d depan? Kalau tidak di depan ya di belakang sekalian. Supaya tidak terlewati pedagang dua kali dalam satu trip. Siapa bilang kami naik kereta ekonomi? Ini adalah kereta bisnis, semua barang dibisniskan disini. Dari air mineral, nasi, pecel sampai bantal sekalipun. Tapi ya kenapa kereta api selalu merugi ya? Mungkin karena kebiasaan naik tanpa tiket mungkin ya.
Masuk Solo Jebres, kereta mulai padat. Ampun sudah, sesak, panas, diiringi teriakan teriakan pedagang. Hampir masuk Jawa Timur, si kondektur menerima uang dari penumpang. Kali ini aku iseng, "G malu Pak masih muda menerima suap??". Ditatap mataku sejenak. Lalu dia beranjak pergi, dan menghilang sampai Banyuwangi pun tak ada kondektur yang melintas lagi. Sampai juga di Surabaya, sayang kereta telat 1 jam.
Lokomotif beralih haluan, Seorang Ibu dengan kedua anaknya naik. Putra dan Putri. Baru saja wisata dari Jakarta hendak kembali ke Bali. Karena tak enak, kami putuskan supaya beliau yg duduk, sedang aku duduk d samping kaca, tempat di atas meja kecil tempat meletakkan minuman. Gpp Bu, ni fasilitas negara, kalau bisa dirusak saja biar ada keluar produk barunya, ujarku dingin.
Tak lama melintaslah di sekeliling lumpur lapindo, seram, miris, dan sungguh mengerikan negeriku ini. Di ujung timur sini ada bencana yang dahsyat, tetapi kenapa terabaikan, tak seperti bencana lainnya. Eh tadi di Surabaya ada rombongan pengamen kaya klanting, ramai sangat peralatannya, dengan tembang Banyuwangian "Kembange Ati", menghipnotis penumpang kereta. Hari sudah sore, akhirnya ini makan yang ketiga hari ini, sedang Poltak baru saja berselera untuk makan sedari siang. Tadi di Solo Jebres, naik lah perempuan metal dengan rambut panjang dipirang merokok Gudang Garam Filter. Dibawa nya lukisan kaligrafi karya Pujiono, ya Pujiono yang menikahi gadis di bawah umur tersebut. Dan tidak murah katanya.
Keramahannya membuat kami banyak belajar bahwa tampang bukan jaminan orang untuk berbuat jahat.
Satu persatu penumpang turun, dan kami terlambat tiba di Banyuwangi. Jam 23.30 kami baru tiba. Berjalan beriringan kami dengan keluarga tadi, sampai di Mini Market, belanja perbekalan lagi. Nampak wajah letih dari kedua wajah kami. Tapi terbayar sudah ketika melihat kapal penyebrangan. Bali di depan mata.
Tiket 6ribu rupiah, dan kerennya sistem elektronik, tanpa pengawas, kami memasukkan tiket, maka palang besi terangkat dan kami berjalan menuju kapal. Memastikan ada tidak nya bus ke Denpasar agar kami bisa menumpang, ternyata tidak ada. Kami bertemu lagi dengan rombongan backpackeran lainnya yang tadi sama sama berangkat dari Jogjakarta. Diam tak kenal tak perlu saling menyapa. Mungkin itu yang ada di benak kami semua. Bali, ya ini benar benar Bali, kami sampai di Gilimanuk. Berjalan menuju pemeriksaan KTP. Lolos, iyalah pasti lolos karena kami tak bermasalah. Lagi lagi kami melihat rombongan mereka yang nampak seperti kebingunan. Kunci dari backpackeran adalah jangan bingung apapun keadaannya, dan jangan malu meminta tolong, minta tolong informasi atau minta tolong apapun itu.
Sejenak kami berfoto foto di dermaga dan di Terminal Bus Gilimanuk.
Eh maaf kalau foto Poltak ada sama dia, jadi nanti saja d upload di cerita selanjutnya.
Masuk ke terminal, sepi, nyaris tak ada calo atau preman. Atau mungkin ini dini hari? Di dalam kami bertanya dengan kondektur bus, ternyata ini bus menuju Ubung dan selanjutnya akan langsung ke Padang Bay, jika mau lanjut ke Lombok. 25 ribu ongkosnya. Bijaknya bus ini, jika penumpang penuh maka tidak boleh ada penumpang yang berdiri. Alias harus pindah ke bus yang d belakang. Belum lama berjalan, bus menepi. Ternyata kondektur membakar dupa di kuil. Suasana mistik mulai hadir, merinding. Ini yang kedua, sang supir yang melaksanakan ritual tersebut. Dan yang ketiga kalinya sang kondektur dan supir sempat berbincang lama dengan pendeta yang menunggu kuil. Kami kira ini akan berlangsung terus sampai Ubung, ternyata itu hanya tempat sembahyang mereka, jadi mereka memang sering beribadah disana. Menakjubkan, disela sela rutinitas yang meletihkan, mereka masih ingat untuk beribadah. Tak seperti bus bus Jawa lainnya, bus ini berjalan santai. Tidak tergesa gesa, nyaman kami dibuatnya.
Pagi menjelang tibalah kami di Ubung, menanti dijemput kawan kawan dari Udayana, istirahat lah kami di dalam terminal bus. Dan bertemu dengan rombongan backpacker tadi yang lagi lagi masih kebingunan. Nampaknya mereka mau lanjut ke Kuta. Terlihat dengan lobi supir yang hendak menyewakan mobilnya.
Lama tak jumpa dengan Dedi, kawan dari Hukum Udayana. Datang dengan kawannya. Digiring kami ke kontrakan nya. Ternyata disana sudah ada rombongan lain yang lebih dulu hadir. Masih ada 26 rombongan lagi ujar Dedy. wow, Bali memang memiliki sejuta pesona untuk dikunjungi apalagi untuk menghabiskan penghujung tahun. Bicara ini bicara itu mata tak kompromi dan akhirnya kami meluruskan alis mata. Ditemani Bali dengan sejuta eksotisme dan hawa yang panas, padahal hari hujan.
Setelah ngobrol ini itu, maka tidurlah kami seharian sampai senja datang. Di rumah kontrakan ini kami bercengkrama, bercerita, atau sekedar online sejenak, menanti rombongan lainnya. Kata Bung Ded, bakal ada kawan dari Jakarta dan salah satunya wanita yang sedang kuliah di Singapura. Wah pasti trip kali ini akan sangat ramai. Apalagi kawan dari Samarinda sudah tiba di Bali sehari sebelumnya karena mendengar kami ke Bali. Makan disini harus diperhatikan, kalau sampai salah masuk, bisa haram nanti. Sekali makan pun relatif terjangkau, nasi ikan 7ribu rupiah.
Malam ini kami diajak nonton final Indonesia lawan Malaysia di kontrakan kawan lainnya. Febri kawan ku dari Samarinda sudah bergabung disini. Kami pergi beriringan menggunakan sepeda motor, aih lupa aku ke daerah mana. Disana ternyata sudah disediakan pembakaran untuk bakar ayam. Makan malam gratis nih cerita nya. Cukup puas memang dengan permainan Garuda, tapi dia menang tak dapat juara. Disini kami lebih banyak bercerita tentang kehidupan kampus, ketimbang membahas ayam bakar yang sedari tadi menemani obrolan kami.
Hari mulai larut, kembali kami ke kontrakan Bung Ded. Prinsip disini, kami jadi tamu sehari. Kemudian hari selanjutnya jadi tuan rumah bersama. Jadi tak heran kalau pagi itu kami masak sarapan sendiri. Menunya, nasi, mie rebus, telur dadar, dan kerupuk. Siang ini ada lagi seorang kawan datang dari Salatiga, namanya Laru (bukan sebenarnya). Eh iya, Laru kawan Bung Ded, mereka sama sama dari Alor. Alor tanah yang indah. Kenapa disebut Laru? Laru adalah sejenis minuman dsana, tentunya Laru gemar minum disana, itu kenapa dijuluki Laru. Haha, ada ada saja gumamku. Siang ini Dedi pergi ada kesibukan. Kebetulan ada 2 motor nganggur di rumah, jadi kami putuskan keliling Denpasar dengan motor. Aku dibonceng Poltak, sedang Laru dibonceng Febri. Alhasil keliling kota Denpasar dengan modal bensin 2 liter. Bosan juga rasanya, waktu masih menunjukkan pukul 3 siang. Kami putuskan menuju Kuta. Dengan berputar sana sini, nyasar kesana kemari. Akhirnya hampir tiba Kuta. Macet melanda seputaran Monumen Bom Bali.
Hari ini adalah 30 Desember dimana 2 hari lagi tahun 2010 akan ditutup. Kuta ramai memang, ini tak tampak seperti Indonesia. Lebih cocok disebut sebagai Eropa nya Indonesia. Turis mancanegara dan domestic bergabung bersama. Sekedar minum bir, ditato temporary, berenang, surfing, atau sekedar cuci mata. Yah, ini lah peradaban lain yang pernah ada di depan mata. Kalau memang ingin belanja, disarankan membeli di mini market seputaran Kuta. Karena di pantai, bisa lain harganya. Bir botol kecil saja 20K. Minuman kaleng sampai 8K. Padahal di minimarket tidak semahal itu. Tapi tak apalah, inilah Bali, harga itu tak sebanding dengan kepuasan suasana. Bir dingin temani senja di pantai Kuta. Tak bosan rasanya menatap laut biru, sedang langit mulai gelap.
Beranjak kami menuju monument Bom Bali dengan berjalan kaki. Sekarang ini tak lagi bebas berfoto dari dekat, karena jika lepas sore, pintu pagar monument ditutup. Jadi harus siang hari, atau terpaksa foto dari luar pagar. Setelah dari sana, kami langkahkan kaki ke seputaran Popies Land. Perut sudah tak mau kompromi, sial betul tak tampak rumah makan yang bersahabat. Akhirnya mie instant seduh jadi pilihan. Cuma 3K, murah meriah. Dengan air mineral seharga 2K. Cukup untuk ganjal perut sampai nanti Bung Ded menemui kami di Kuta. Kembali ke Kuta, malam ini belumlah tahun baru. Tetapi perang kembang api sudah dimulai. Dengan diiringi gelak tawa mereka yang disana, dan yang bernyanyi nyanyi di dekat kami. Kuta memang tak pernah sepi. Bosan duduk, kami berjalan menuju patung kura kura besar di sebelah kiri pintu masuk Pantai Kuta. Lama kami disana. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih. Tak mungkin kami makan mie instant lagi. Harus makan nasi. Kami berjalan lagi kesana kemari layaknya turis kaya yang bermodalkan berjuta rupiah. Setelah melihat kesana kemari, tak ada pilihan selain makan ke Mc D. Karena yang halal tak terjangkau mata. Sial, 16K itu makan yang paling murah ternyata. Tak apalah sekali sekali jadi orang kaya .
Selepas makan kami kembali ke pantai, kali ini hampir jam 12 malam. Bung Ded datang dengan kawannya, Agung. Mereka juga satu kontrakan. Dia marah betul karena kami makan tadi, seperti tidak ada warung makan lain saja. Ya memang tidak bisa dipungkiri, idealisme beliau sering meledak ledak. Tapi apa daya, sekarang bukan waktunya berdebat produk, tapi bagaimana agar perut tetap bersahabat. Tak disangka, rombongan dari Bandung lainnya datang. Mantap kali kurasa malam ini. Dan hebatnya mereka langsung menuju Kuta. Lepas sejenak masalah makan tadi, sekarang alur pembicaraan mengenai ongkos dan tarif perjalanan kami. Tetap aku dan Poltak yang terbilang murah . Berbicara sampai pagi, kami buat gundukan pasir dalam plastic sebagai bantal. Ya, tidur beralaskan pasir, beratapkan langit, dan dininabobokan deburan ombak pantai Kuta. Ini adalah malam terindah yang pernah ada.
Pagi sekali Bung Ded sudah terbangun, dengan Poltak yang mencari korek api. Ternyata, tak Cuma kami yang malam ini menginap di Kuta, ada beberapa rombongan lainnya juga. Buka kaos dan tinggal celana pendek, kularikan tubuh ini ke laut. Dingin memang, tapi sedari kemarin ingin rasanya mandi di air asin ini. Menyusul Poltak, Bung Ded hanya menatap dari layar kamera nya.
Tak lama beberapa orang melihat kegilaan kami, ya mungkin kami gila, mandi di pagi buta. Seru, menantang ombak, tak ada yang mengganggu, Kuta milik kami berdua. Hari mulai terang, sesekali ada yang berjalan dan berlari di bibir pantai. Sudah cukup puas batin ini, kami naik ke pantai. Berjalan di jalan Kuta, untuk sekedar nikmati pagi tanpa alas kaki.
Kami harus kembali karena Bung Ded dimalam akhir tahun baru ada kerjaan kecil. Bung Ded mendapatkan job sampingan mengurusi event organizer untuk acara tahun baru di sebuah hotel di seputaran Kuta. Alhasil malam ini kami akan tahun baruan di Hotel mewah. Senang bercampur kecewa karena tak bisa ke pantai Kuta. Sampai di rumah kami langsung mandi dan tidur karena lelah.
Siang itu kami berangkat ke lokasi. Pihak hotel telah menunggu, dan dia kaget kenapa banyak sekali panitianya. Ya dijelaskan memang nanti malam membutuhkan banyak personel, dan honor tetap, hanya saja jatah makan yang dilebihkan. Pihak hotel paham dan show must go on. Cek sound, sesekali mata menatap kolam renang yang dipakai bermain bola air penghuni hotel. haiah, jadi pengen ikut bermain.
Setelah siang, Poltak mengajak membeli oleh oleh Bali di Joger. Nantinya kaos itu akan kupakai . Lumayan jauh memang karena kami berjalan kaki dari Kuta. Hebatnya di Joger, antrian juga terdapat pada saat pembayaran. Saya kira Cuma di minimarket saja antri membayar. Sore sudah menjemput, segera kembali ke arena hotel. Perut lapar sejak pagi tak diisi. Dan saatnya sarapan sore di tempat makan pegawai hotel. Lagi lagi gratis, hantam yang banyak, perjalanan masih panjang. Lahap kami makan, hingga pergelaran pesta malam akhir tahun dimulai.
Dari persembahan live music sampai pergelaran tari, ramai benar suasana. Sesekali kopi hitam temani kami memanggil pengisi acara keluar dari ruang tata rias. Menarik memang kebudayaan Bali. Hebat dan menakjubkan. Detik detik malam tahun baru mulai terasa, dan duarr, aneka kertas menghujani panggung dan inilah awal 2011 di Kuta Bali. Pengalaman yang menyenangkan, diantara mereka yang jauh dari rumah.
Setelah makan jamuan dari pihak hotel, kami lanjutkan berjalan ke pantai. Jika bawaan banyak titip saja di salah satu pos satpam, seolah kita penghuni hotel. Di pantai ternyata hujan kembang api belum juga reda. Aih sungguh kagumku padamu Kuta. Gerimis menemani, tetap tak peduli. Setelah bercengkrama, lanjut ke Monumen Bom Bali lagi. Ramai benar tempat clubbing disini. Semua bebas berekspresi.
Karena letih, jam 3 kami kembali ke hotel tadi untuk mengambil motor dan barang yang dititipkan. Tiba di rumah, this time to rest.
Hari ini tanggal 1 Januari 2011, hari pertama di akhir tahun, entah berapa lama tadi kami tertidur, tapi siang sudah membangunkan lelap. Setelah membuat mie goreng dan telur mata sapi, kopi adalah sarapan kedua kami. Ya kopi tak pernah putus memang. Sore cepat sekali datang, kami masih saja bermalas malasan. Tepat jam 8 malam rombongan dari Jakarta 1 mobil datang merapat. Sebenarnya mereka sudah ada di Bali beberapa hari, mungkin karena kehabisan perbekalan untuk penginapan jadi merapat kemari. Mereka 8 orang, 3 wanita cantik dan 5 pria. Mengendarai mobil dari Jakarta. Mereka masih saja kaget kalau saya dan Poltak dari Jogja bisa ke Bali setelan murah. Disana kami bercerita tips trip murah cari tiket pesawat di calo bandara sampai cerita si kawan wisata di Singapura. Karena 1 diantara mereka ada yang kuliah disana dan sengaja berkunjung ke Bali.
Waktu menunjukkan jam 12 malam, saatnya aku, Poltak dan Bung Ded hunting hunting ke Simpang siur hingga seputaran Denpasar. Alhasil dapatlah beberapa foto untuk oleh oleh nantinya. Dan pada akhirnya perjalanan kami menggunakan 2 sepeda motor sampai di Sanur. Ini masih pagi, ya memang ini masih teramat pagi. Kami mainkan gitar yang tadi dibawa. Bir hangatkan badan, karena matahari keluar enggan. Pantai ini memang tak seindah Kuta, tapi sangat bersih dengan batu batuan sebagai bentengnya. Ada trotoar panjang yang digunakan sebagai ajang bersepeda atau sekedar berlari kecil saja.
Pagi datang dan kami harus pulang, malu dilihat pengunjung dengan wajah kami yang cukup kusam. Sarapan bubur kacang hijau 2.500 rupiah. Lumayan lah buat ganjel perut. Sampai rumah langsung hantam mie rebus lagi. Tidur sejenak. Jam 10 pagi sudah dibangunkan, dan kita akan berangkat ke Bedugul. Wow, tak kusangka kita akan pergi ke pagoda itu. Tadi memang kukatakan pada Bung Ded, bisakah kita berfoto sejenak ke pagoda di sekitaran Legian? Beliau hanya tersenyum diam seribu arti. Mandi dan kami sudah berada di atas aspal jalanan Bali. 4 motor dengan 1 mobil kami menuju Bedugul. Jalanan menanjak ternyata seperti mau ke Lembang atau ke Puncak. Dan udara mulai dingin. Di pintu masuk membayar tiket, entah berapa karena sepertinya ada diskon dan dibayarkan langsung oleh Bung Ded dan Poltak. Kembali, Kagumku padamu Bali.
Laru
Poltak dan Saya
Melihat indahnya pagoda di tengah air. Seperti Samosir di tengah danau Toba. Ini karena hujan, jadi air menggenanginya tutur Bung Ded. Disana ada kapal juga bagi yang ingin menyewa sekedar mengelilingi danau. Kami hanya berdiri di tepian, sekedar berfoto ria dan mencuci mata .
Sore telah datang dan kami harus pulang karena kawan kawan dari Jakarta akan lanjut pulang. Eh bertemu rombongan kru Penghuni Terakhir, numpang nampang foto dengan background bus mereka. Langsung kami arahkan ke Denpasar, ke warung nasi langganan mahasiswa dekat dengan stadion (saya lupa jalan apa). Disini cukup murah, makan standar mahasiswa, seperti di Bandung pada umumnya. Nasi pakai ayam dan teh dingin (eh kalau di Banda Aceh bilang es teh manis itu teh dingin) Cuma 10 ribu. Sistem makannya pun lucu, setelah ambil makanan, lalu dikasih kupon berlabelkan harga. Setelah selesai makan, tinggal tunjukkan kuponnya, ada tertera harga dan bayar. Kembali ke rumah. Ternyata Agung harus mencari mobil sewaan untuk besok dipakai kawan lainnya yang datang ke Bali. Mereka wanita semua, makanya lebih nyaman jika menggunakan mobil. Padahal ingin berlama lama di Bali, tapi apa daya, waktu jua memaksa kembali. Laru harus segera kembali kuliah. Kalau Poltak, jangan terganggu bermain karena kuliah (motto kami sama). Kalau Febry, selama tabungan dan subsidi masih menyanggupi, jalan terus nikmati hari. Malam ini jam 1 pagi kami pamit hendak pulang. Dengan asumsi masih dapat kereta pagi jam 5 nanti Banyuwangi – Malang. Karena ingin singgah di Malang. Ternyata, Agung berbaik hati mengantarkan kami ke terminal. Sampai di terminal, Laru merayu agar diantar sampai Pelabuhan Gilimanuk. Dan Agung mau dengan catatan kami isi bensin dan Bung Ded yang bawa kembali nanti. Dan deal, ongkos bus kami jadikan bensin. Nyaman sampai Gilimanuk. Mungkin karena kami terlalu santai, sampai di Gilimanuk masih sempat berfoto-foto seolah tak lagi berjumpa. Padahal kemarin awal tahun 2011 Bung Ded sempat datang ke Bandung mengendarai sepeda motor dengan Bung Rubben. Sayonara dan kami harus berpisah. Naik kapal 6ribu rupiah. Sampai kami di Banyuwangi. Dan kereta ke Malang sudah lepas landas. Akhirnya kami naik kereta tujuan Lempuyangan. Sebelumnya beli sarapan di depan stasiun nasi uduk 4K. Dengan tiket 35K, Berbekal air mineral botol besar 4 buah, kami naik kereta dan duduk di paling belakang. Bertemu kami dengan bapak tua pengendara sepeda tujuan Surabaya. Hebat bapak ini keliling Bali naik sepeda. Hampir sampai Surabaya, bertemu lagi dengan rombongan pengamen seperti klanting, lagi, mereka nyanyikan “Kembange Ati” lagu khas Banyuwangian. Dan jujur, sampai sekarang lagu itu ada dalam Nokia C3 ku setelah didownload waktu tiba di Jogja. Laru turun di Solo Jebres, tadinya kami mau turun juga lanjut ke Semarang, tapi badan terlalu letih jadi mungkin besok saja ke Semarangnya.
Tiba di Lempuyangan, Febri sudah ditunggu kawannya, dan saya Poltak sudah ditunggu oleh Dhani dan Tama. Bir malam itu sirami dinginkan Jogja yang cukup panas suhu udaranya. Dimanapun kami berada, kemanapun kami pergi, selalu hubungi teman atau saudara, untuk mengurangi beban biaya yang seharusnya tidak pernah ada .
(Sebenarnya mau lanjut ceritakan Ke Semarang via Magelang , liat desa yang dihantam bajir merapi, trus ke Sukorejo, g dapet mobil mau ke Weleri terpaksa naek travel 15ribu padahal tariff Cuma 4ribu . Ke Semarang, pulang dari Semarang naek motor dengan Poltak karena gantian Febri yang naik bus ke Jogja. Tapi tangan letih saudara saudara, mungkin lain kali ya. Jangan letih untuk berwisata, karena Indonesia itu memiliki alam surga yang beragam bentuknya)
he..he...jadi pengen ke bali backpacker'an..^_^
ReplyDelete