Ketika mata terbuka,
terbelalak sempurna melihat keindahan Banyuwangi dikala subuh dari atas
ketinggian ini. Matahari malu malu, sedang embun pagi terus bercumbu. Sampailah
di terminal Banyuwangi jam 7 pagi. Harus naik angkot katanya ke Pelabuhan 10K
per orang. Aih dimakan calo tampaknya kami pagi ini. Tak apalah, singgah di
minimarket mengisi perbekalan juga menumpang mandi. Naiklah ke kapal dengan
tujuan Gilimanuk seharga 6K per orang. Akhirnya kembali lagi dengan pelayaran
ini setelah Desember 2010 menikmati yang pertama dan terakhir kalinya.
Menikmati nasi bungkus 5 ribu rupiah cukup menentramkan mata. Seperti biasa,
kami turun dari kapal lantas periksa KTP yang sudah mati, dan menuju terminal
Gilimanuk. Deal 25K sampai Denpasar.
Mungkin karena mata terkantuk kantuk
melihat konvoi Truk pengangkut semen, maka terbangunlah di sekitaran Denpasar.
Minibus ini mampir sejenak di terminal baru lalu melaju ke terminal. Karena
hari sudah siang, maka baiknya makan siang, karena kalau makan malam tandanya
hari sudah malam. Duduk manis seperti tuan tuan berwajah iblis di warung nasi
Padang depan terminal Ubung. Yang kiri bukan yang kanan. “Da ado jariang?”.
aduh maaf mas saya bukan orang Padang. “Aih ba’a ko da? Dihidang ya, jangan
lupa nasi tambuah. Sepertinya memang bukan orang Minang. Kalaupun orang Minang,
pasti yang pertama diangkat adalah air minum, cuci tangan dan lap kering. Makan
kali ini terbilang sempurna. 210K untuk 9 orang sudah minum dan numpang charger
serta kamar mandi. Datanglah calo budiman yang tadi untuk men-deal-kan harga ke
Padang Bay 25ribu. padahal kalau mobil langsung bisa 35K Gilimanuk - Padang
Bay. Tapi tak apalah toh tidak setiap hari begini. Kembali mini van tersebut
masuk terminal, ternyata menjemput seorang pasien lagi. Dan si cw tersebut
telah ditipu dengan membayar ongkos 50K. Aih hari begini masih saja ada yang
suka menipu pemirsa. Perjalanan kali ini tak begitu lama, selain jalanan bagus
lagi lebar, pemandangan beragam. Kurang lebih 1 jam sampailah di Padang Bay.
Karena bingung, wanita tadi turut bergabung bersama kami. Saya semacam lupa,
kalau gak salah 36 atau 38ribu pokoknya 30anK lah tiket penyeberangan Padang
Bay - Lembar. Jarak tempuh 4 jam dengan kamar mandi bersih, tak seperti kapal
kapal Merak - Bakauheni. Ada ruangan rebahan yang nyaman, mushala, ruang tunggu
ber AC maupun kursi-kursi yang disediakan di teras luar. Sembari menikmati
sunset dan rayuan Gunung Agung, bercanda gurau sembari semilir senja, seolah
sedang di tepi dangau. Dan ternyata wanita tadi itu menganggap kami sebagai
pria tidak baik baik. Biarlah publik yang menilai. Kalian tahu, aku selalu
menikmati saat saat senja di tepi laut. Dan sangat menikmati kondisi di tengah
laut ini. Hingga malam menjemput, tak ada lagi kopi 3ribu itu yang bisa
diseruput, maka didapati Ilka kantin kapal itu entah berapa harganya. Kira kira
3 jam lebih kapal mendarat di Pelabuhan Lembar, sedikit berteriak “yeah sampai
juga di Lombok”. Kapal bisa bersandar sedang bus bus dan truk tak berani turun
dari kapal. Ternyata air pasang hingga tak memungkinkan untuk menurunkan
kendaraan. Dengan santai kami melewati genangan air pasang tersebut. Ternyata
sudah dijemput oleh Abang nya Hambali di tepi dermaga dengan seorang kawannya.
Alhasil dengan penumpang 11 orang kami menyeruak kegelapan malam Lombok.
Jalanan di Lombok memang luas dan tebal, kesan inilah yang ada dalam pikiran
kali pertama melihatnya. Tujuan kami adalah Mataram, kediaman dari gondrong.
Adalah Rido Rama yang sempat berambut panjang kami juluki gondrong yang
bertempat tinggal di Mataram. Ayahnya pengusaha rumah makan, jadi selain
menumpang tidur juga mandi, tentunya kita dapat mencicipi kuliner khas Suku
Sasak disana.
Tiba di kediaman
gondrong, Amak (panggilan untuk Bapak) sudah menunggu dan menyambut dengan
keramahan hati khas Sasak punya. Tak perlu mandi yang penting makan dulu,
kemudian dengan cepat terhidanglah makanan khas Sasak seperti yang saya katakan
tadi. Bermacam macam ragamnya dari sayuran, lauk pauk hingga sambal yang ada di
hadapan pandangan. Sempurna, nyaris saja lapar ini sempurna. Dengan lahap kami
menyantap hidangan yang ada. Hanya tinggal tulang tulang sapi saja yang
tersisa. Ada satu hal yang menjadi kenangan di jamuan makan malam ini. Orang
tua lebih dulu mencuci tangan, kemudian diikuti oleh yang lebih muda. Pun
demikian dengan menyantap makanan. Sebelum yang tua selesai makan, maka
tidaklah elok bagi kaum muda untuk mencuci tangannya. Mungkin karena lelah dan
juga sedikit kelaparan, jadi tak sempat bertanya nama nama dari makanan
tersebut. Kalau toh ditanya tentunya saya juga sudah lupa lagi sekarang.
Keluarga Rido adalah penggemar musik, maka tak heran ketika di aula besar
tempat kami makan ini tersedia tv layar besar dengan big sound, untuk karaoke
katanya. Dan mata kali ini tak dapat kompromi. Dengan cepat saja langsung
terlelap, ya di tengah aula ini, tentunya setelah minum kopi. Setelah makan
minum kopi adalah tradisi disini.
Comments
Post a Comment