Tiba di rumah paman,
bibi dan keluarga telah menyiapkan hidangan makan siang. Beberapa bakul nasi
juga kari ayam. Rupanya tadi bibi memotong ayam untuk kami. Setelah mencuci
tangan dan kaki dengan air yang mengucur dari kendi santap siang segera
dilaksanakan. Jamuan yang sungguh luar biasa bagi kami yang barus saja
dikenalkan kepada paman. Mungkin seperti inilah ramah tamah Suku Sasak. Sembari
santap siang, paman sesekali berkelakar. Duet yang fantastis antara Bang Heri
dan Paman, kesah disambung dengan kesah. Selepas makan, kopi kembali mengaliri
lambung. Mungkin jika kita mampir di 10 rumah, maka akan ada 10gelas kopi yang kita minum bila di Lombok
ini. Apa lagi cerita? Di tengah kenyang melanda, rupanya sudah ada air nira.
Sembari bercerita ini bercerita itu tentang kondisi kampung ini, bergelas gelas
air nira segera berpindah ke dalam perut. Beginilah Indonesia, ada sedikit
ceria di atas miris yang melanda. Setelah bercerita meski tak puas tiada
tamatnya, pamitlah kami kembali ke Jerowaru. Nasehat nasehat mengiringi
kepergian kami. Jangan sungkan untuk kembali kemari ujar paman. Sungguh luar
biasa paman kita, dengan keterbatasan keadaan, masih sempat memikirkan kemajuan
kampung. Karena ketika ada permasalah di kampung ini, paman turut serta menjadi
penengah. Ada sedikit cerita dari Paman tapi karena bodohnya saya, jadi sedikit
lupa. Ada kepercayaan masyarakat setempat, ketika ada sesuatu kejadian yang
membutuhkan pembuktian. Maka yang berkepentingan akan dibawa ke sebuah makam.
Setelah memegang air dan tanah di makam tersebut, maka yang akan tampak mana
yang salah dan benar. Biasanya yang salah akan langsung mendapat ganjaran
langsung berupa sakit atau kematian. Ingin rasanya melihat tanah itu, tetapi
hari sudah terlalu sore. Mungkin ini adalah cara Lombok merayu kami untuk
kembali. Roda berputar kembali di jalanan berkerikil. Ketika jalanan kembali
beraspal tebal pertanda Jerowaru tak jauh lagi. Sampai di kediaman Jali,
segelas kopi telah menanti kembali. Cuci kaki tangan tidak mandi langsung kami
libas kehangatan kopi. Senja datang dan lagi lagi makanan khas Sasak telah
dihidangkan. Luar biasa harus bekerja keras lambung sepertinya. Sebelumnya kami
meminta maaf jika setelah makan nanti jangan ada lagi kopi karena selepas makan
nanti kami bergerak ke Lombok Tengah. Ada beberapa kawan yang sudah mandi dan
berkemas. Kemudian terdengar alunan petikan gambus. Nah siapa lagi ini yang
memainkannya? Rupanya Jali memainkan di teras rumah. “Tanjung Ringgit gue
raksase, idi gama’ ina’ “begitu Jali menyanyikannya. Sebenarnya Jali ingin
berlama lama di rumah, karena baru sehari saja sudah harus bergerak lagi. Sedih
tiada terperi tapi waktu memaksa kembali. Menjelang jam 7 malam kami
berpamitan. Kali ini menuju daerah Dusun Gonjong, Desa MT. Gamang, Kecamatan
Kopang, Lombok Tengah.
Kali ini perjalanan
ditempuh kira kira 2 jam lamanya. Kalau salah berarti saya yang lupa. Di
Jerowaru memang sangat sepi, jika sudah menjelang malam memang jarang orang
keluar rumah. Mungkin karena terlalu kenyang, jadi saya tak menghiraukan lagi
alur perjalanan. Hanya saja gambus turut serta dalam perjalanan kali ini. Juga
ada terasi khas Lombok yang mengiringi. Akhirnya sampailah kita di peraduan
Hambali. Kedua orang tuanya telah lama menanti ternyata. Tak lama hidangan
makan malam hadir kembali. Wah bisa tambah berat badan kalau begini, makan
malam yang kedua pun kembali digelar. Mungkin karena sedikit letih jadi tak
banyak kami berkelakar. Lagi lagi jamuan makan malam ala Sasak dengan menu yang
berbeda. Andai saja saya tahu nama menu menu itu semua. Selepas makan malam,
kembali kami menikmati kopi di balai balai khas Sasak di depan rumah. Sembari
bercerita ini itu dengan Amak dari Hambali. Tak lama kami berjalan ke rumah
Hambali yang satu lagi. Dekat saja, hanya berjarak 20meter. Di rumah kosong
inilah nantinya kami melepas lelah. Rumah yang dibangun kakaknya Hambali yang
sedang mencari rejeki di Arab sana. Kembali perangkat elektronik diisi
tenaganya. Yang mandi langsung mandi, yang mencuci langsung mencuci, yang
mengantuk jangan bicara lagi. Tetapi apa daya, kantuk hilang setelah malam
melanjutkan perbincangannya. Tak sadar waktu telah memaksa gelap semakin larut.
Comments
Post a Comment