Sore itu tepat hari Jumat di akhir April 2013 tiket
bus menuju Medan sudah di tangan. Duduk di bangku nomor 2. Kebanyakan orang
mengatakan bahwa ini adalah hot seat.
Kita dapat leluasa melihat lajunya bus dan juga pemandangan di depan mata
tentunya. Adalah Badrul yang telah membantu mencarikan bangku tersebut. Kami
berkenalan sebelumnya di Aceh Bus Lovers. Sebagai juru ticketing Bus PMTOH,
sudah beberapa kali saya memesan tiket kepada beliau. Kali ini nasib kurang
berpihak, karena saya terlalu cinta bepergian dengan PMTOH plat nomor 7449. Tak
apalah menggunakan 7448, hanya beda supir saja. Tepat pukul 20.00 bus sudah
keluar terminal dan waktu berpamitan tiba. Sebelumnya Badrul sudah menelepon
awak bus dan menginformasikan bahwa saya bersamanya di Kedai Kopi Cek Yuke di
depan terminal tempat kami biasa menikmati malam. Bus melaju tenang, lain
rasanya dengan bus yang biasa saya naiki. Bahkan dengan tenang supir menggiring
roda-roda agar tetap pada koridornya. Jarang sekali mengejar bus yang tepat
berada di depan pandangan mata. Bus tetap melaju sedangkan waktu tetap berpacu.
Hanya sekali di ingatan mata betapa mata berkaca kaca ketika bus ini mengambil
jalur lawan dan memasuki jembatan di sebelah kanan. Perhitungan supir tepat,
karena sebuah bus dengan rute sama tersalip selepas jembatan tersebut. Sampai
di Medan tidak ada kenangan yang berarti. Bus masuk ke pool ketika matahari mulai menyinari Kota Medan. Setelah cuci muka
di toilet pool, menikmati segelas
kopi di warung sebelah, saatnya melangkahkan kaki menuju jalur angkot menuju
Padang Bulan. Beberapa kali saya selalu mampir ke kamar kos kecil ini. Kamar
ini milik Daniel Chafero Sianipar. Lazimnya bila saya ke Medan, selalu kami
pergi minum teh ke kedai di depan jalan masuk. Setelah mandi dan bersiap diri,
maka kami berangkat dengan naik angkot yang sama. Daniel menuju toko Aeki
tempat dia membuka usaha kaos etnis Batak, sedang saya melanjutkan ke arah
Bandara Polonia.
Medan siang itu cukup teduh dan nyaris hujan.
500meter saja jalan kaki menuju areal bandara. Dengan cemas dan gugup menanti
kedatangan Bang Raja. Ya, nantinya kami akan bersama-sama mencoba singgah ke
Bangkok. Hampir 30 menit rasanya menunggu cemas, ada baiknya menukar uang lebih
dulu di depan pintu masuk keberangkatan internasional. Cukup mahal ternyata,
350ribu rupiah untuk 1000Baht. Untuk berjaga-jaga maka saya tukar juga beberapa
keping $. 1 jam lagi nyaris keberangkatan dimulai, tetapi Bang Raja tak kunjung
tiba. Sebentar lagi ujarnya melalui pesan singkat. Cemas seakan sirna ketika
dia tiba. Lancar saja masuk ke arena bandara, hingga proses check in. Sedikit gugup ketika
pemeriksaan paspor, dua kali bertatapan wajah, stempel langsung menodai paspor
polos itu. Hingga akhirnya pengeras suara memanggil kami untuk masuk ke pesawat.
Karena alibi lapar, maka seporsi makanan mahal Air Asia mendarat cepat ke
lambung. Penerbangan kali ini relatif lancar. Tak kurang dari 2x60 menit
pesawat akhirnya mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok. Dari awal saya hanya
melihat bahwa bandara ini tak jauh beda dengan bandara lainnya. Tetapi saya
dikejutkan dengan bandara yang dikelilingi oleh lapangan golf. Sebagian areal
bandara dimultifungsikan menjadi lapangan golf. Bahkan ada jalur masuk ke areal
parkir yang memotong jalur lintas kendaraan ke lapangan golf. Ada lampu
merahnya juga ternyata. Cerdas, membuat lapangan golf tak harus di tempat yang
sulit dicapai.
Dengan langkah tegak mengikuti kerumunan orang
menuju keluar bandara. Antrian imigrasi cukup panjang. Kami diarahkan menuju
antrian paspor Thailand. Cepat saja kerja petugas imigrasi disini. Tak sampai
10 menit berdiri, saya sudah berada di luar antrian dan melenggang tenang
menikmati kemegahan bandara ini. Dengan bahasa Inggris yang terbata bata kami
bertanya ke petugas bandara berapa harga taksi ke daerah Khaosan Road. 800Bath
ujarnya. Aih mahal sekali. Dengan berbekal tekad yang luhur maka petualangan
dimulai. Berjalan mengikuti tanda bus yang tiba tiba menghilang, maka iseng
kami bertanya ke beberapa orang. Tidak banyak rupanya orang Bangkok yang lancar
berbahasa Inggris. Tetapi lumayanlah mereka lebih maju dari kita. Setelah
berjalan kurang lebih 1km, akhirnya kami mendapati halte bus. Disini masih juga
kebingungan karena kami belum tahu akan naik bus apa ke Khaosan. Beberapa orang
ditanya juga tak tahu menahu. Berdasarkan info yang kami dapat sebelumnya dan
disarankan orang orang di halte tersebut maka kami naik bus no 59. Kondektur
bus pun masih bingung dengan alamat yang kami maksud. Atas arahan penumpang
berseragam imigrasi maka kami turun di Mocit. Ongkosnya tak sampai 50Bath untuk
kami berdua. Di halte Mocit kami turun dan naik ke stasiun BTS untuk menanyakan
informasi. Disarankan menggunakan bus no 29 dan 504. Beberapa orang yang kami
tanyakan menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda. Nyaris 2 jam kami berada di
halte ini. Terlebih karena sedikit bingung, blackberry ini tak bisa digunakan,
dan juga bus yang diharapkan tak kunjung datang. Ternyata bus kota di Bangkok
datang dengan tidak teratur. Berkali-kali bus dengan nomor yang sama datang
secara beriringan. Terkejutnya lagi karena kondektur bus adalah perempuan. Ada
seperti kaleng tempat bola tenis yang bisa dibuka bagian tengahnya sebagai
tempat menyimpan uang dan tiket. Cara memegang uang kertas pun unik. Uang
dilipat dua bagian tengah dan memanjang, baru kemudian diselipkan di jari-jari
tangan. Sehingga tidak ada uang yang terlipat acak. Jenuh akhirnya hilang
karena bus yang dinanti tiba. Jika tadi kami menggunakan bus AC, kali ini
adalah bus ekonomi tanpa AC. Masing-masing seorang dikenai ongkos 6Baht. Wah
ini lebih murah ternyata. Kehidupan malam mulai menggeliat di Bangkok,
kemacetan hampir saja menyelimuti kota. Untungnya dengan gesit, supir memacu
bus ini membelah kota. Sesekali decak kagum muncul dari dalam dada. Betapa
tidak, kendaraan disini berjalan teratur. Bus-Bus tingkat turut menghiasi
gemerlap malam. Sepintas terlihat Victory Monument. Berarti tak jauh lagi kami
akan tiba di Khaosan. Beberapa halte ke depan akhirnya kami diturunkan.
Sekalian membeli air mineral di minimarket, kami juga bertanya dimana Khaosan.
Ternyata tidak jauh dari halte bus ini. Dan kami masih saja menawar Tuk Tuk
untuk menuju kesana. Untung saja dia tak mau, lumayan kan 50Bath tak jadi melayang.
Akhirnya sampailah kami di Khaosan Road. Kenapa kami
menuju kemari? Karena sebelumnya kami telah memesan kamar di area ini via
online. Kehidupan malam benar-benar hidup di sepanajang jalan ini. Dari penjaja
makanan, minuman, hingga banci penjaja diri turut menghiasi jalanan yang
bertaburkan penjaja merchandise khas Bangkok. Letih menghampiri dan diputuskan
untuk langsung menuju kamar hotel. Harganya lumayanlah, 300ribu saja karena via
online. 900 Baht tertera disana, kamar dengan 2 tempat tidur, AC, TV, mantaplah
D&D Hotel ini. Setelah mandi maka diputuskan untuk mencari makan malam.
Setelah keliling sana keliling sini, dipilihlah makan ke Mc D. Jauh jauh ke
Bangkok makannya di Mc D juga. Karena tidak kami temui penjaja nasi. Lambung
belum lagi cukup kuat untuk menikmati hidangan sadis seperti kalajengking, ulat
dan hewan sadis lainnya. Saya lupa habis berapa makan malam kali itu. Rasanya
tak sampai 150Baht untuk kami berdua. Rasa masakan disini aneh. Bawang dan daun
seledri sangat kental terasa. Karena sudah sampai disini maka ada baiknya
mengitari komplek ini untuk mengetahui apa apa saja yang bisa kami temui di
daerah Khaosan. Di Khaosan banyak sekali ditawarkan paket-paket wisata dan juga
transportasi menuju bandara. Setiap jam ada saja minibus yang berangkat ke
bandara. 130Baht saja per orang. Rasanya seperti berada di Bali, dentuman suara
musik mencabik cabik. Hiruk pikuk jalan dipenuhi turis asing. Hanya satu yang
membuat Khaosan ini menjadi kurang nyaman. Kabel-kabel listrik dan telepon
sangat rendah terurai. Kesan semerawut ditimbulkan di sepanjang jalanan.
Setelah tidur semalaman, maka pagi menjemput. Kami
masih bingung hendak kemana. Ternyata hotel ini bekerjasama dengan restauran di
seberang sana. Tamu hotel sarapan di restauran tersebut. Sarapan pagi ini
setumpuk roti bakar dengan telur mata sapi di dalamnya. Segelas teh manis juga
orange juice. Dirasa cukup kenyang, maka kami mencari penginapan lain yang
lebih murah tentunya. Setelah beberapa kali keluar masuk penginapan maka
diputuskan kami akan menginap di Kawin Guest House. Nama yang unik bukan?
Disini kami hanya membayar 500Baht saja. Oh iya, rata-rata penginapan di
Khaosan selalu meminta uang deposit 500Baht. Nanti dikembalikan ketika kita
check out. Kekurangan kamar disini adalah tidak ada lift sedang kami berada di
lantai 4. Tidak ada TV dalam kamar. Hanya double bed dan kamar mandi, juga AC.
Tak apalah toh kami hanya menyimpan barang saja di penginapan ini.
Perjalanan kali ini kami mulai dengan mencari
transportasi ke Wat Arun. Wat Arun kami dapat dari rekomendasi Kak Dewi.
Beberapa Tuk Tuk yang kami tawar tak mau kurang dari 100Bath. Akhirnya dengan
proses tawar menawar yang alot, ada taksi yang mau mengantarkan kami ke Wat
Arun dengan ongkos 60Bath. Supir pun rasanya juga sedikit jengkel karena kami
bayar menggunakan uang koin semua. Hampir 15menit berada di dalam taksi maka
sampailah kami di pintu masuk Wat Arun. Masuklah kami seperti orang yang sudah
terbiasa kemari. Benar-benar terawat. Betapa orang Thailand begitu menghargai
tempat ibadah mereka. Bersih dan sungguh megah. Patung-patung yang menghiasi
halaman begitu mempesona. Areal ini cukup luas ternyata. Rasanya tak cukup satu
jam untuk mengelilingi semuanya. Dalam bangunan ini ternyata sedang ada orang
yang sembayang dan meminta berkat kepada Bhiksu yang memimpin doa. Atas ijin
Bhiksu yang menjaga, kami dapat masuk dan mengambil beberapa foto. Ternyata di
sekitar gedung sedang ada orang yang membuat film. Mungkin seperti FTV di
Indonesia. Semakin kami masuk ke dalam ternyata ada sungai luas yang membentang
dan memisahkan daratan ini. Terlihat ramai lalu lalang kapal jukung dan kapal
panjang melintasi. Ternyata sebagian besar pengunjung lokasi ini adalah orang
Indonesia. Hal ini terlihat dari gaya mereka berbicara dan menawar harga di
beberapa kedai merchandise. Satu lagi yang unik adalah ada penjaja merchandise
berteriak menggunakan bahasa Indonesia. Harga yang ditawarkan pun juga
menggunakan rupiah. Di pintu masuk tersebut tertera tiket masuk adalah 50Bath.
Dengan alibi bertanya dimana money
changer maka kami cuek masuk ke dalamnya. Sang petugas berpikir bahwa kami
sudah masuk dan kehabisan uang untuk belanja. Candi yang tinggi menjulang
membuat hati merinding tak berani menaikin tangga yang mengelilinginya. Cukup
saja berfoto-foto dari bawah.
Setelah mengelilingi Wat Arun kami putuskan untuk
menuju Chatucak Market. Pasar tumpah seperti di Gasibu Bandung setiap hari
Minggu. Hanya saja pasar ini ramai ketika Sabtu Minggu saja. Karena menawar Tuk
Tuk tak kunjung berhasil, maka kami sembarangan naik bus yang melintas.
Ternyata kami salah jurusan. Tetapi tetap diarahkan kondektur untuk turun
nantinya di dekat stasiun BTS terdekat dan melanjutkan dengan BTS. Kami
dikenakan ongkos 11Bath per orang. Hitung-hitung keliling kota ujarku. Ternyata
kami diturunkan di lampu merah Surasak. Dan sebenarnya kami tak boleh turun
disana karena halte masih jauh di depan. Tetapi mungkin karena supir kasihan
jika kami harus berjalan jauh maka kami diturunkan disana. Ongkos BTS ke Mochit
adalah 40Bath seorang. Kita akan transit di Siam dan pindah ke BTS yang menuju
ke Mochit. Penumpang sangat rapih antri di barisan yang telah disediakan.
Prioritas diberikan kepada penumpang yang akan turun terlebih dahulu. BTS
disini tidaklah terlambat. Setiap 10 menit sekali datang, hingga kita tak bosan
menanti. Selama berada di kawasan BTS dan di Halte BTS dilarang makan, minum
apalagi merokok. Tak sampai 30 menit kami sudah berada di Mochit. Sudah
terlihat hiruk pikuk dari atas tangga turun ini. Alih alih ingin masuk ke Chatuchak
Park, ternyata kami nyasar ke stasiun kereta bawah tanah. Untuk masuk ke dalam
stasiun kita harus turun 2 lantai. Sangat teduh dan nyaman berada disini.
Pantas saja banyak sekali orang yang duduk santai di pelataran stasiun ini.
Setelah diperiksa tas kami mencoba mencari dimana bisa mendapatkan peta gratis.
Setelah puas mengelilingi stasiun yang semula saya kira adalah bioskop maka
kami kembali ke luar. Menikmati Chatuchak Market. Berbagai jenis barang
dijajakan disini. Dari kaos, merchandise lainnya hingga wisata kuliner dapat
kita temukan disini. Hati-hati jika berbelanja disini. Jika tak sadar, kita
akan sangat boros nantinya. Harga-harga yang ditawarkan disini sangat beragam.
Dari yang sangat murah hingga barang yang kesannya sangat mahal. Bayangkan saja
ada kaos yang harganya 100Baht dengan kualitas ekspor. Karena lapar saya
putuskan untuk makan nasi bebek seharga 30Baht. Rasanya lagi lagi aneh, terlalu
banyak seledrinya.
Setelah puas mengelilingi para penjual maka kami putuskan menuju Victory Monument dengan bus 29. Kali ini gratis karena tanpa kondektur. Bus di Bangkok gratis jika tanpa kondektur. Hanya saja kita tak leluasa bertanya. Dari sebuah minimarket kami menyeduh mie cepat saji yang dibawa dari Indonesia. Naik menuju jalan layang menuju stasiun BTS. Dari sini kita dapat menatap indah Victory Monument serta lalu lintas di sekelilingnya. Kembali naik BTS untuk menuju National Stadium tentunya transit di Siam dengan ongkos 25Bath per orang. Ternyata dari National Stadium kita harus naik bus kembali untuk menuju China Town. Saya lupa saat itu naik bus no berapa. Yang pasti ongkos tak sampai 10Bath. Tak kurang dari satu jam rasanya mengelilingi komplek ini. Seperti sedang berada di Pecinan. Bangunan bangunan bertuliskan aksara China. Makanan yang ditawarkan pun beraromakan China semua. Ratusan wajah wajah Thionghoa hilir mudik di area ini. Patulah menjadi salah satu tujuan wisata. Tak perlu ke China ternyata jika hanya ingin menikmati suasana Pecinan. Karena hari mulai gelap dan gerimis sedari tadi menemani maka kami putuskan untuk pulang naik Tuk Tuk ke Khaosan. 150 Bath disepakati setelah tawar menawar dengan cukup alot. Bahkan kembalian 10Bath saja nyaris tak dikembalikan. Sepintas kami melintasi Wat Arun. Indah benar jika dilihat ketika malam. Lampu lampu yang bersinar terang mempercantik suasana. Sesampai di penginapan mandi dan kembali menikmati suasan Khaosan malam. Kali ini kami putari habis setiap sudut yang ada. Hingga letih menjemput.
Setelah puas mengelilingi para penjual maka kami putuskan menuju Victory Monument dengan bus 29. Kali ini gratis karena tanpa kondektur. Bus di Bangkok gratis jika tanpa kondektur. Hanya saja kita tak leluasa bertanya. Dari sebuah minimarket kami menyeduh mie cepat saji yang dibawa dari Indonesia. Naik menuju jalan layang menuju stasiun BTS. Dari sini kita dapat menatap indah Victory Monument serta lalu lintas di sekelilingnya. Kembali naik BTS untuk menuju National Stadium tentunya transit di Siam dengan ongkos 25Bath per orang. Ternyata dari National Stadium kita harus naik bus kembali untuk menuju China Town. Saya lupa saat itu naik bus no berapa. Yang pasti ongkos tak sampai 10Bath. Tak kurang dari satu jam rasanya mengelilingi komplek ini. Seperti sedang berada di Pecinan. Bangunan bangunan bertuliskan aksara China. Makanan yang ditawarkan pun beraromakan China semua. Ratusan wajah wajah Thionghoa hilir mudik di area ini. Patulah menjadi salah satu tujuan wisata. Tak perlu ke China ternyata jika hanya ingin menikmati suasana Pecinan. Karena hari mulai gelap dan gerimis sedari tadi menemani maka kami putuskan untuk pulang naik Tuk Tuk ke Khaosan. 150 Bath disepakati setelah tawar menawar dengan cukup alot. Bahkan kembalian 10Bath saja nyaris tak dikembalikan. Sepintas kami melintasi Wat Arun. Indah benar jika dilihat ketika malam. Lampu lampu yang bersinar terang mempercantik suasana. Sesampai di penginapan mandi dan kembali menikmati suasan Khaosan malam. Kali ini kami putari habis setiap sudut yang ada. Hingga letih menjemput.
Keesokan harinya kami putuskan keluar lebih pagi.
Niatan hati tentunya ingin ke bandara dengan murah dan kembali mampir ke
Chatucak Market. Ternyata bus tak mau menaikkan penumpang meski di lampu merah.
Kondektur menyarankan kami untuk menuju halte bus yang berjarak 50meter ke
depan. Bijaknya lagi, bus menanti kami yang berlari mengejar. Dengan bus no 29
kami turut serta ke Chatucak Market. 7Bath saja ongkos menuju kesana. Seperti
di Indonesia, ternyata ada penjaja makanan yang keliling dari satu toko ke toko
lain dan penjaja tersebut mengatakan kepada kami “Halal”. Untuk bekal nanti
cocok sepertinya. Di ujung area ini terdapat money changer yang sayangnya tak menerima rupiah. Setelah
berkeliling dan membeli sejumlah barang maka kami melanjutkan perjalanan menuju
bandara. Kali ini ongkos bus 7Bath saja. Cukup murah bukan, dari Khaosan hingga
bandara Don Muang hanya menghabiskan 15 Bath saja, setara dengan 4500rupiah
dengan jarak tempuh perjalanan hampir 1 jam. Satu yang patut diperhatikan
adalah kondisi lalu lintas di Bangkok rawan macet. Beruntung kemarin kami tak
mengalaminya. Awalnya kami sangsi karena diturunkan oleh kondektur di depan
sebuah stasiun kereta ekonomi. Ternyata dari sana ada jembatan penyeberangan
yang mengarahkan langsung menuju ke dalam bandara. Cukup efektif karena kami
tidak kepanasan selama berjalan. Anehnya lagi kami bisa langsung berada di
dalam bandara tanpa pemeriksaan tiket dan bagasi. Tiket dan barang bawaan
diperiksa ketika kita akan check in saja. Sebelum check in kami putuskan menyantap
makanan yang tadi dibeli di Chatucak Market. Sialnya di bandara ini kita
dilarang mengambil foto. Jadi kalau ingin berfoto ria sangat disarankan agar
tidak terlihat petugas. Melewati proses imigrasi yang lengang dan pemeriksaan
barang bawaan untuk masuk ke dalam ruang tunggu dengan cukup santai. Hanya saja
botol air mineral saya tak lolos kali ini. Padahal kan bisa saja diisi air.
Ruang tunggu di bandara ini cukup bersih dan nyaman. Smoking room terletak di
sudut sudut ruangan. Di ruang tunggu terdapat money changer yang menerima rupiah. Hanya saja sangat jatuh
harganya. Setelah delay 2jam 35 menit dan dibungkam dengan burger Mc D, maka
kami berangkat kembali ke Indonesia. Penerbangan ini tak akan mudah dilupakan
karena tiket maskapai selanjutnya ke Banda Aceh hangus karena terlambat sampai
di Polonia.
Comments
Post a Comment