Nyaris 4 tahun saya berada di Bumi Serambi Mekkah. Tidak sedikit
daerah daerah yang telah saya kunjungi, meski tidak sebanyak yang pernah
dijelajahi oleh teman-teman lainnya. Sesekali saya mengunjungi lokasi-lokasi
yang kurang disukai oleh kebanyakan orang. Beberapa mesjid, makam, bangunan tua
yang menjadi bagian cerita terbentuknya sejarah Aceh sempat saya kunjungi.
Bukanlah sebuah keangkuhan bila saya mengatakan pernah mengunjungi
lokasi-lokasi unik tersebut. Karena sebagian dari kawan yang singgah ke Aceh
akan selalu mencari sunset, pantai, laut, atau sekedar segelas kopi.
Berawal dari cerita teman, membaca status sebuah akun di media sosial, hingga
iseng-iseng mencari informasi di dunia maya, membuat saya terpancing untuk
mengunjungi pusat-pusat informasi sejarah Aceh. Ada sebuah kekaguman ketika
menyaksikan betapa tingginya peradaban masyarakat Aceh yang terlihat dari
bentuk bangunan, tempat ibadah, makam yang terlihat di beberapa titik lokasi.
Sebut saja Makam Teuku Umar, Makam Syiah Kuala, Makam Nyak Arif, Mesjid
Indrapuri yang sempat saya kunjungi. Rasa penasaran sebenarnya pernah hadir
ketika mengunjungi Makam Cut Nyak Dien di kawasan Sumedang. Semakin memuncak
ketika kali pertama melintasi komplek Museum Aceh. Beberapa makam bersejarah
terlihat di lokasi tersebut. Dari beberapa nama Pahlawan Aceh yang pernah saya
baca pada saat pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, maka saya yakini
bahwa banyak sekali peninggalan sejarah rakyat Aceh yang tersebar di belahan
Bumi Nanggroe Aceh Darussallam.
Rasa penasaran ingin kembali memang sangat kecil. Jarang sekali
saya berulang kembali mengunjungi sebuah situs sejarah. Kecuali ada teman yang
minta diantarkan. Tercatat dalam benak bahwa hanya Benteng Vredeburg di Yogyakarta
saja yang pernah saya kunjungi berulang kali. Bahkan beberapa kali ke Makassar,
baru kali terakhir saya akhirnya mengunjungi Roterdam. Begitu juga wisata
sejarah di Aceh, hanya sekali saja saya kunjungi. Sepintas saja saya sudah
merasa puas mengunjunginya. Mungkin seperti kebanyakan para pelancong, hanya
sekali mengunjungi situs sejarah, toh tidak akan ada yang berubah. Padahal
kalau kita perhatikan, pantai juga jarang berubah, toh masih kerap dikunjungi.
Satu kata yang melintas dalam pikiran adalah apakah situs cagar
budaya kurang menarik untuk dikunjungi. Mungkin karena lokasinya yang sulit
ditempuh, atau penyajiannya kurang menarik. Di luar daripada perdebatan
tersebut, ketertarikan saya kembali hadir ketika secara tak sengaja bertemu
dengan Bang Ade (kopisolong – Kaskus) yang tengah berbincang dengan teman-teman
di Kede Kupi. Sembari berkenalan, perbincangan mereka semakin hangat terasa.
Alur pembahasan nyaris menyinggung soal bangunan tua dan sejarah. Baru saya
ketahui bahwa mereka berasal dari Komunitas Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah
Aceh). Jika sederhana saya tangkap bahwa sebenarnya apa sih untungnya
mempedulikan sejarah? Toh sudah instansi pemerintah terkait yang mengurusinya.
Tersirat makna dalam perbincangan bahwa belum semua peninggalan sejarah Aceh
telah terinventarisir dan terawat. Beberapa temuan kawan-kawan Mapesa bahwa
situs sejarah di Aceh terbengkalai dan tidak terawat. Pendapat baru selalu akan
menghasilkan pertanyaan baru. Demikian yang terjadi di Kede Kupi pada malam
itu. Bagaimana cara menemukan benda-benda dan bangunan bersejarah tersebut,
apakah tidak membutuhkan arkeolog? Apakah tidak membutuhkan pendanaan dalam
perawatannya? Barulah saya ketahui bahwa Mapesa terbentuk dan terlahir dari
sebuah rasa solidaritas dan kepedulian terhadap perjalanan sejarah Aceh.
Beberapa kegiatan yang mereka laksanakan dibiayai oleh individu-individu yang
tergabung dalam Komunitas Mapesa. Keuntungan apa yang didapat dari kegiatan-kegiatan
tersebut? Seorang kawan menuturkan bahwa hobby terhadap sejarah tak jauh
berbeda dengan hobby kegiatan yang lain. Hasil yang didapatkan selain
pengetahuan adalah kepuasan. Sekilas sempat saya dengar dalam perbincangan
malam itu adalah tujuan dari Mapesa adalah mewujudkan kembali peradaban dan
kemuliaan Aceh. Secara sederhana saya pikirkan adalah sebuah hal yang sulit,
akan tetapi melihat dari beberapa dokumentasi kegiatan yang telah mereka selenggarakan
membuahkan hasil yang signifikan. Perlahan dengan pasti tentunya beberapa
sejarah Aceh dimunculkan ke permukaan. Bahkan sempat saya lihat beberapa
rangkuman hasil temuan yang telah dibukukan.
Konsep yang sederhana yang Mapesa lakukan adalah sambil belajar,
sambil berwisata, sambil beramal. Kenapa beramal? Karena kegiatan yang
diselenggarakan bersifat gerakan sosial. Hanya Tuhan lah yang akan membalas
budi baik orang-orang yang bersifat sosial. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
Mapesa adalah berdiskusi dengan sejarahwan juga ahli agama dan budaya. Selain
itu mereka mengunjungi lokasi-lokasi sejarah peradaban Aceh yang belum
tersentuh oleh tangan pemerintah. Tujuannya adalah agar cagar budaya tersebut
tidak punah dan hilang ditelan jaman. Tidak banyak yang Mapesa lakukan akan
tetapi ini akan sangat berimbas besar pada perjalanan sejarah di Aceh. Kegiatan
lainnya adalah dengan membersihkan makam, mesjid, atau bangunan bersejarah
lainnya. Bila dimungkinkan maka dilakukan pemugaran. Sembari melaksanakan
kegiatan tersebut, kerap lahir diskusi-diskusi mendalam tentang sejarah dan
budaya tentang peradaban Aceh.
Setelah malam itu rasa penasaran terus menghinggapi tentang cerita
makam Raja-Raja yang pernah Mapesa kunjungi. Minggu yang lalu, 1 Pebruari 2015
secara tidak sengaja muncul ide dari kawan-kawan Kaskus Regional Aceh untuk
iseng melihat makam yang terdekat. Maka diputuskan untuk mengunjungi Situs
Meurah I di seputaran Keutapang, Aceh Besar. Hanya beberapa kilometer dari
bilangan Kota Banda Aceh. Jarak yang dekat bukan? Tetapi karena kita kurang
peduli membuat jarak tersebut terlihat jauh. Berdasarkan informasi yang samar
kami bertanya pada penduduk di sekitar Gampong Puni. Kami diarahkan untuk
kembali ke arah jalan besar dan menuju desa dimana Makam Meurah berada. Sedikit
kesulitan kami mencapai lokasinya karena memang berada di dalam pemukiman. Bermodalkan
bertanya maka kami temui Makam Meurah I. Tetapi bukan ini yang kami tuju
sebenarnya. Tapi tak apalah sembari jalan-jalan sembari melihat sejarah Aceh
yang terpinggirkan. Bangunan Meurah I ternyata berada di tengah areal
persawahan, nyaris tak terlihat dari pandangan kasat mata. Kami menemukan
lokasi tersebut berdasarkan arahan dari anak-anak yang sedang bermain di
sekitar lokasi tersebut. Kondisi makam terawat. Terbukti dengan dibuatkan atap
bangunan di atasnya. Areal pemakaman terlihat bersih, pertanda sudah
dibersihkan dan dijaga secara rutin. Ada kain putih yang membungkus kepala
makam, terlihat masih baru. Mungkin ini juga peninggalan Mapesa. Jika melihat
papan nama yang tersedia, sudah ada andil dari Pemerintah Aceh dalam menjaga
kelangsungan makam-makam ini. Hanya saja belum ada papan informasi mengenai
Meurah I ini. Jika saja nanti ada lembaga donor yang mau menyumbangkan papan
informasi tersebut, tentunya para pengunjung makam ini akan mendapatkan
informasi yang jelas. Maaf jika mungkin kurang sopan, tetapi makam-makam ini
tidak kalah menarik untuk diabadikan kedalam olah gambar digital. Alhasil
telepon seluler kami telah menyimpan beberapa gambar Makam Meurah I.
Target yang dicari belum ditemukan maka segera kami menuju lokasi
Meurah II di Gampong Lhok Lhung. Sebenarnya tidak jauh jarak kedua lokasi ini. Hanya saja karena
kurangnya papan penerangan jalan membuat kami harus bolak balik bertanya kepada
masyarakat. Jadi jika nyasar-nyasar sedikit tidaklah aneh sore itu. Sampailah
kami di Lokasi Meurah II. Kekaguman bertambah setelah melihat betapa rapi dan
kokoh ukiran nisan yang terlihat. Tinggi dan besar dengan ragam tulisan Arab di
dindingnya. Maka saya yakini bahwa kesimpulan saya tentang tingginya peradaban
Aceh masa lalu adalah benar. Yang membedakan Meurah I dan Meurah II adalah di
lokasi Meurah II belum ada bangunan yang menjadi atap dari makam-makam ini.
Meski jumlah makam di Meurah II nyaris lebih banyak menurut saya. Lokasi ini
dipagari karena sangat berdekatan sekali dengan pemukiman penduduk. Terlihat
ada ember, gelas, sikat, mungkin lokasi ini baru saja dikunjungi oleh
kawan-kawan dari Mapesa.
Jika saja pegiat-pegiat budaya dan sejarah Aceh terus bermunculan,
bukan tidak mungkin bahwa banyak lokasi baru yang bisa menjadi tujuan wisata
Aceh. Tidak ada salahnya sembari jalan-jalan sembari menjaga warisan budaya
sejarah dari nenek moyang kita.
mantaaappp bere.... lanjutkan, dan semoga kapan2 bisa ikut nimbrung untuk ikut melestarikan warisan leluhur....
ReplyDelete