Udara dingin masih menusuk meski tubuh sudah berbalut selimut. Sesekali suara endusan kerbau terdengar dari barak di bawah rumah panggung khas Batak ini. Menjadi kebiasaan Namboru (Bibi / saudara perempuan dari Bapak) mulai menyalakan api di tungku dapur sejak pagi buta. Selain menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya yang akan berangkat sekolah, duduk di depan tungku api membuat badan tetap hangat. Udara dingin memang menjadi ciri khas Sibane-Bane, Aek Nauli, Samosir. Pulang ke tanah kelahiran Bapak menjadi kebahagiaan bagi saya ketika ingin menjauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Desa Aek Nauli sudah sedikit lebih baik sekarang, listrik sudah ada, beberapa rumah sudah mempunyai bak penampungan yang terisi air jika hujan datang. Berhemat air adalah nasehat yang paling sakti di desa ini. Akses jalan yang buruk membuat mobil tanki terkadang berat hati untuk menghantarkan air ke desa di dataran tinggi Pulau Samosir ini. Alunan lagu-lagu Batak terdengar dari radio yang dimiliki bibi. Pagi ini dingin terasa lebih menusuk, hujan mengguyur tanah Batak ini semalaman. Abang yang menjemput saya di tepian Danau Toba kemarin sore sungguh kesusahan mengendarai sepeda motornya melewati jalanan berlubang dan berlumpur.
Menjadi spesial karena Bibi tidak pernah membangunkan saya dari lelap. Meski demikian rasa segan segera datang. Terbiasa tinggal di daerah panas tepi pantai beberapa tahun terakhir membuat rasa dingin kali ini menjadi jadi. Aroma kopi khas Samosir ternyata mampu mengalahkan suasana pagi itu. Segera saya berpindah ke ruang belakang rumah yang dijadikan dapur. Sebentar menghangatkan tubuh di depan tungku api. Kopi yang diseduh bibi tidak seperti kopi yang sering saya nikmati di Bumi Serambi Mekah. Kebanyakan orang menyebutnya dengan nama kopi tubruk. Kopi yang sudah dicampur dengan gula putih kemudian diseduh dengan air mendidih yang baru turun dari tungku perapian. Ini yang menjadi ciri khas kopi dari Aek Nauli, harum mewangi memenuhi isi ruang. Bahkan ketika saya turun ke kamar mandi di luar rumah, harumnya masih terasa.
Kopi yang disajikan berasal dari kebun sendiri. Kopi ditanam oleh bibi dan keluarganya. Pengolahan kopi sendiri masih dilakukan secara tradisional. Kopi yang telah dipetik dijemur di halaman rumah, mengandalkan teriknya matahari. Saya tidak tahu pasti bagaimana warga desa Aek Nauli memperkirakan tingkat keringnya kopi. Setelah cukup kering, kopi ditumbuk secara manual dengan penumbuk dari batu besar yang terlihat di depan rumah. Kopi ditumbuk sampai halus benar. Agar kopi terpisah dengan yang masih kasar, bubuk kopi tersebut ditampi menggunakan alat tampi dari anyaman bambu. Kemudian kopi disimpan ke dalam kaleng.
Cangkir yang terbuat dari seng menambah kenikmatan kopi pagi ini. Bibi sungguh lihai memadukan kopi dan gula pagi ini. Sembari berbincang dan sesekali bersenda gurau tak terasa kopi sudah sisa separuh dalam cangkir. Berbeda dengan beberapa kopi tubruk yang pernah saya nikmati, kopi pagi ini tidak banyak menyisakan bubuk yang naik ke permukaan cangkir. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk dapat langsung menikmati kopi pagi ini. Layaknya seperti menikmati kopi di tempat lain, minumlah kopi ketika suhu air kopi masih panas. Jika sudah dingin bisa membuat perut menjadi kembung. Penasaran dengan kopi yang telah dinikmati, saya langkahkan kaki pagi itu untuk melihat langsung pohon kopi di sekitar rumah.
Warga Aek Nauli tidak sedikit yang menanam kopi sebagai mata pencaharian. Padi merupakan tanaman lain yang menjadi batu sandaran warga desa ini. Seperti beberapa ladang kopi yang saya pernah lihat di daerah Aceh Tengah, tanaman kopi disini berbaris rapi. Ditanam berjarak sehingga dahan dan rantingnya tidak semerawut dan bersinggungan dengan batang lain. Jarak tanaman juga sengaja dibuat agar dapat lebih mudah ketika proses pemberian pupuk dan proses pemetikan kopi. Tinggi batang disini terlihat kisaran 1-2 meter. Rimbun dan berbuah lebat. Jika saja akses transportasi menuju desa ini lancar, maka distribusi hasil bumi dapat dilaksanakan setiap hari. Bukan tidak mungkin Aek Nauli dapat menjadi salah satu daerah penghasil kopi yang ternama seperti Kopi Karo, Kopi Gayo, Kopi Toraja. Karena kendaraan umum berupa Truk Besar hanya datang sekali dalam sepekan ke desa ini. Kendaraan yang hanya datang setiap hari Rabu, membawa hasil bumi dan juga warga Aek Nauli yang akan pergi ke Pasar Pangururan. Bantuan teknologi dalam pengolahan kopi tentunya akan mendukung proses produksi bubuk kopi Aek Nauli. Sehingga produk yang dijual tidak lagi hanya biji kopi.
Menjadi spesial karena Bibi tidak pernah membangunkan saya dari lelap. Meski demikian rasa segan segera datang. Terbiasa tinggal di daerah panas tepi pantai beberapa tahun terakhir membuat rasa dingin kali ini menjadi jadi. Aroma kopi khas Samosir ternyata mampu mengalahkan suasana pagi itu. Segera saya berpindah ke ruang belakang rumah yang dijadikan dapur. Sebentar menghangatkan tubuh di depan tungku api. Kopi yang diseduh bibi tidak seperti kopi yang sering saya nikmati di Bumi Serambi Mekah. Kebanyakan orang menyebutnya dengan nama kopi tubruk. Kopi yang sudah dicampur dengan gula putih kemudian diseduh dengan air mendidih yang baru turun dari tungku perapian. Ini yang menjadi ciri khas kopi dari Aek Nauli, harum mewangi memenuhi isi ruang. Bahkan ketika saya turun ke kamar mandi di luar rumah, harumnya masih terasa.
Kopi yang disajikan berasal dari kebun sendiri. Kopi ditanam oleh bibi dan keluarganya. Pengolahan kopi sendiri masih dilakukan secara tradisional. Kopi yang telah dipetik dijemur di halaman rumah, mengandalkan teriknya matahari. Saya tidak tahu pasti bagaimana warga desa Aek Nauli memperkirakan tingkat keringnya kopi. Setelah cukup kering, kopi ditumbuk secara manual dengan penumbuk dari batu besar yang terlihat di depan rumah. Kopi ditumbuk sampai halus benar. Agar kopi terpisah dengan yang masih kasar, bubuk kopi tersebut ditampi menggunakan alat tampi dari anyaman bambu. Kemudian kopi disimpan ke dalam kaleng.
Cangkir yang terbuat dari seng menambah kenikmatan kopi pagi ini. Bibi sungguh lihai memadukan kopi dan gula pagi ini. Sembari berbincang dan sesekali bersenda gurau tak terasa kopi sudah sisa separuh dalam cangkir. Berbeda dengan beberapa kopi tubruk yang pernah saya nikmati, kopi pagi ini tidak banyak menyisakan bubuk yang naik ke permukaan cangkir. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk dapat langsung menikmati kopi pagi ini. Layaknya seperti menikmati kopi di tempat lain, minumlah kopi ketika suhu air kopi masih panas. Jika sudah dingin bisa membuat perut menjadi kembung. Penasaran dengan kopi yang telah dinikmati, saya langkahkan kaki pagi itu untuk melihat langsung pohon kopi di sekitar rumah.
Warga Aek Nauli tidak sedikit yang menanam kopi sebagai mata pencaharian. Padi merupakan tanaman lain yang menjadi batu sandaran warga desa ini. Seperti beberapa ladang kopi yang saya pernah lihat di daerah Aceh Tengah, tanaman kopi disini berbaris rapi. Ditanam berjarak sehingga dahan dan rantingnya tidak semerawut dan bersinggungan dengan batang lain. Jarak tanaman juga sengaja dibuat agar dapat lebih mudah ketika proses pemberian pupuk dan proses pemetikan kopi. Tinggi batang disini terlihat kisaran 1-2 meter. Rimbun dan berbuah lebat. Jika saja akses transportasi menuju desa ini lancar, maka distribusi hasil bumi dapat dilaksanakan setiap hari. Bukan tidak mungkin Aek Nauli dapat menjadi salah satu daerah penghasil kopi yang ternama seperti Kopi Karo, Kopi Gayo, Kopi Toraja. Karena kendaraan umum berupa Truk Besar hanya datang sekali dalam sepekan ke desa ini. Kendaraan yang hanya datang setiap hari Rabu, membawa hasil bumi dan juga warga Aek Nauli yang akan pergi ke Pasar Pangururan. Bantuan teknologi dalam pengolahan kopi tentunya akan mendukung proses produksi bubuk kopi Aek Nauli. Sehingga produk yang dijual tidak lagi hanya biji kopi.
Comments
Post a Comment