Pelabuhan Tuapeijat mulai menampakkan
kehidupannya subuh kali itu. Beberapa tukang ojek mulai memarkirkan
kendaraannya di tepi pelabuhan. Tidak besar, pelabuhan ini tidak seperti
kebanyakan pelabuhan di Indonesia. Jika diibaratkan seperti bandara, mungkin
elok kita katakana sebagai pelabuhan perintis. Meski demikian, pelabuhan ini
juga kerap menjadi sandaran kapal-kapal besar di Kepulauan Mentawai. Tuapeijat
merupakan salah satu pelabuhan sandar untuk gerbang masuk ke Kabupaten
Kepulauan Mentawai. Berada di Pulau Sipora yang juga memiliki bandar udara.
Pulau-pulau lain seperti Pulau Siberut, Pulau Pagai Utara atau Pulau Pagai
Selatan juga merupakan pulau besar yang didiami masyarakat seperti Sipora ini.
Tidak hanya tukang ojek, beberapa kendaraan angkutan desa roda empat juga
meramaikan hiruk pikuk pelabuhan pagi ini. Sebuah kapal besar tak lama lagi
akan bersandar di pelabuhan. Raungan Sirine Kapal Perintis Sabuk Nusantara 37
memecah keheningan pagi beberapa waktu setelah waktu shalat subuh hampir usai.
Kapal Perintis Sabuk Nusantara 37 merupakan salah satu moda transportasi laut yang menghubungkan Kota
Padang dengan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Diperkirakan berangkat dari Padang
tadi malam. Kapal ini mampu melarung sepi dari Padang hingga Sipora selama 8-12
jam. Tali kapal dilemparkan ke daratan untuk ditambatkan oleh petugas
pelabuhan. Tidak lama berselang, pintu samping kapal dibuka dan para pengguna
jasa angkutan ini keluar satu persatu. Beberapa ada yang telah dijemput
keluarga, sebagian lagi menggunakan ojek dan angkutan desa yang tersedia.
Pelabuhan Tuapeijat
Kantor Pelabuhan Tuapeijat
Kembali lagi ke pelabuhan. Beberapa warung
tenda menghadirkan sarapan pagi yang tercium aromanya dari kejauhan. Ada
lontong dan pical Padang. Aneh rasanya menyebutkan Lontong Padang disini,
seperti menyebutkan Mie Aceh ketika berada di Aceh. Seperti Mpek Mpek Palembang
di tepian Sungai Musi sana, tidak pernah dituliskan di kedainya menu “Mpek Mpek
Palembang”. Mereka hanya menuliskan Mpek Mpek saja. Tidak sempat menikmati
Lontong di Padang, Mentawai menjadi uji coba pertama Lontong Nagari
Minangkabau. Mentawai sangat layak disebut sebagai Nagari Minangkabau karena
masih dalam bingkai kesatuan Provinsi Sumatera Barat. Meskipun berada di
Kepulauan dan mempunyai adab dan istiadat yang berbeda dengan Minang Daratan. Meski
berbeda, simbol simbol bendera Minang terlihat di sepanjang jalan. Beberapa
bangunan menunjukkan pernyataan sikap bahwa Mentawai juga Minangkabau. Pada
bagian atap terlihat atap runcing yang menjulang ke langit. Bahan ijuk seperti
Rumah Gadang lama digantikan dengan seng. Ornamen motif bunga, akar, daun tidak
terlalu terlihat, mungkin ini yang membedakan dengan ukiran-ukiran rumah di
Mentawai.
Lontong sayur dan pical Padang menjadi ciri
khas sarapan pagi di Tuapeijat. Warung tenda ini tidak bersifat permanen. Sebuah
mobil disulap menjadi dapurnya, disandingkan dengan beberapa meja dan kursi
beratapkan tenda besar. Sepiring lontong saya pesan pagi itu ditemani segelas
kopi. Meski berasal dari satu daratan Sumatera, kopi yang disuguhkan berbeda
rasa. Aroma kopi tidak terlalu wangi. Disajikan dengan cara tubruk (tanpa
saring), sejatinya kopi ini tidak menggugah selera. Kopi yang disajikan tidak
terlalu asam meski tidak disaring berkali kali. Hal ini yang membuat kopi pagi
di Tuapeijat menjadi berbeda. Biji-biji halus kopi lekas turun ke dasar,
meninggalkan sari kopi kenikmatan dalam gelas. Warnanya cenderung kecoklatan
tidak pekat. Meski berada di dapur yang dapat berpindah-pindah, kuah lontong
pagi ini cukup panas. Aromanya mewangi mengundang air liur ke rongga-rongga
lidah. Kerupuk merah yang diremas pecah menandakan jatidiri sarapan pagi Minang
sejati. Bertemankan telur rebus bulat yang disirami sambal merah. Sambal merah
digoreng hingga setengah masak untuk kemudian disajikan.
Berada di Kepulauan menyebabkan seluruh harga
barang-barang menyesuaikan dengan biaya transportasi. Tetapi tidak dengan
sarapan pagi di Tuapeijat. Harga seporsi lontong adalah 10ribu rupiah dan
segelas kopi 5ribu rupiah. Harga yang ditawarkan masih dapat dijangkau oleh
masyarakat yang singgah. Tetapi sepertinya ini tidak berlaku untuk jenis
makanan lainnya. Di siang hari ketika saya mencoba makan di kantin pelabuhan,
seporsi nasi, sayur dan ayam goreng dikenai harga 18ribu rupiah. Sebenarnya
masih menyerupai harga di rumah makan lain di Pulau Sumatera. Meski kebanyakan
bahan pokok didatangkan dari Padang, yakinlah bahwa semua jenis makanan di
Tuapeijat ini selalu baru dan segar. Beberapa penginapan dan losmen tersedia di
sekitar pelabuhan. Dulunya penginapan ini ramai karena banyak masyarakat yang
menginap sembari menunggu jadwal keberangkatan kapal. Sejak dibuka pelayaran
kapal cepat di siang hari, penginapan disini menjadi sepi. Tidak ada salahnya
untuk menginap disini karena sejajar dengan pelabuhan. Dari teras belakang penginapan, hilir mudik kapal nelayan bisa dinikmati.
Comments
Post a Comment