1 Juni 2019. Air Asia
terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal
telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang
ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan
diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur
International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu.
Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana.
Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.
Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas
hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka
seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran
hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya
nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi
berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat penukaran uang yang saya datangi.
Menggerutu dalam hati, kenapa tadi tidak tukar di Penayong, hanya 3500rupiah
untuk 1 ringgit. Kurs terbaik di KLIA2 malam ini hanya 3950rupiah untuk 1
ringgit. Semoga besok harga Baht lebih bersahabat. Jadilah 500ribu rupiah
berganti dengan lembar-lembar ringgit. Sempat melihat beberapa gerai makanan,
selera makan menjadi hilang karena melihat harga. Ah dasar pelit.
“TBS 1 Cik”
Sepertinya saya membayar
RM 10, ah entah juga RM 11 saya lupa, yang pasti harganya lebih murah dari bus
ke KL Sentral yang dikenai tarif RM 12. Bus di Malaysia selalu tepat waktu.
Melihat jadwal keberangkatan pukul 20.00, sempat ragu untuk mampir ke mini
market. Ah daripada lapar, lekas lekas singgah dan membeli 2 potong roti dan
sebotol besar air mineral. RM8, sebenarnya mahal tapi sudahlah. Bus datang
tepat waktu. Hanya menunggu 10 menit kemudian mulai melaju. Hanya ada 4 orang
saja malam itu dalam bus. Saya, pengemudi dan 2 orang pengguna jasa layanan
transportasi ini. Sepertinya sepi karena menjelang hari raya.
Kurang lebih 1 jam
lamanya, bus tiba di Terminal Bersepadu Selatan. Naik ke lantai 2 dan masuk ke dalam area penjualan
tiket. Serasa sia-sia malam itu mengantri, meski hanya 3 antrian saja. Tiket ke
Hat Yai terjual habis. Karena penasaran, saya kembali masuk dalam antrian di
loket lainnya. TBS ini keren, terdapat puluhan loket yang melayani penjualan
seluruh rute bus yang tersedia. Tidak seperti Indonesia yang hanya menjualkan
tiket Perusahaan Otobus tertentu saja. Benar saja, tiket tetap habis. Baru
tersadar ketika mereka melihat sistem tiket bus yang sama. Daripada pusing
tidak karuan ada baiknya makan saja. Iya betul, senang senang makan, sedih
makan, bingung ya makan. Kebetulan ada Rendang Paku Rang Kito yang saya pesan
beberapa hari lalu dari Kabupaten Dharmasraya. Ini untuk menanggulangi rusaknya
selera makan karena perbedaan rasa makanan di daerah lain. Kemudahan di
beberapa negara adalah swalayan atau mini market kerap menjual nasi siap saji
yang dapat dipanaskan. Swalayan-swalayan tersebut juga menyediakan meja dan
kursi untuk bersantai sembari makan. Jadilah pikiran bercabang untuk mencari
alternatif bus ke Penang baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Hat Yai.
Randang Paku Rang Kito
Setelah makan, minum
dan beristirahat sejenak sembari menikmati internet gratis di TBS, saya coba
berjalan kesana kemari di terminal ini. Terlihat beberapa mesin pencari dan
penjualan tiket berbaris. Tak ada salahnya untuk mencoba. Ada satu mesin yang
terlihat kosong di sudut kiri. Beruntungnya malam ini, ternyata mesin-mesin tersebut
dapat dioperasikan menggunakan Bahasa Melayu. Sangat mudah pengoperasiannya,
kita dapat memilih rute perjalanan, tanggal dan pemilihan Perusahaan Otobus apa
yang akan kita gunakan. Canggihnya lagi, mesin tersebut menginformasikan tarif
dan jam keberangkatan bus. Tapi tetap saja tiket ke Hat Yai tidak tersedia.
Kembali berputar-putar di TBS. Kembali lagi ke mesin dan semakin bingung karena
tiket bus ke Penang juga semakin berkurang. Sudah pukul 21.00 waktu Malaysia,
tiket juga belum di tangan. Sempat berpikir untuk membeli tiket pesawat untuk
keesokan hari ke Bangkok. Tarifnya sama dengan tiket Kuala Lumpur – Yangon. Sementara
hati merasa rugi jika harus naik pesawat ke Bangkok. Pun kalau ke Yangon pasti
akan kesal sendiri karena bulan ini tidak ada Balon Udara yang diterbangkan di
Bagan.
Lagi dan kembali ke
mesin pencarian tiket. Rasanya ini lebih mudah ketimbang harus kembali bertanya
ke loket-loket bus di TBS. Saya masih punya rasa malu untuk mengganggu. Pucuk
di cinta alam pun tiba. Mesin memunculkan 1 kursi jurusan TBS ke Hat Yai.
Daripada bingung bagaimana cara pembayarannya, dengan cepat melangkah ke loket
bus.
“60 ringgit, paspor?”
Tidak berselang 2
menit selembar tiket sudah berada dalam genggaman. Senang gembira semua bercampur
malam itu. Ini adalah buah dari perjalanan yang serba mendadak. Bahkan nanti
sampai Hat Yai saya pun tidak tahu akan melangkah kemana. Sementara pilihan
menggunakan bus malam adalah solusi untuk menghemat biaya penginapan. Dasar
pelit, internet saja menumpang milik terminal yang gratisan. Dan saya lupa
bahwasanya kita dapat masuk ke ruang tunggu terminal apabila sudah 30menit
menjelang keberangkatan. Alhasil saya ditolak petugas pintu masuk ruang tunggu.
Masih ada 60 menit ke depan. Tak apa, toh ada internet gratisan.
20 menit menjelang
keberangkatan saya sudah berada di ruang tunggu. Setiap jurusan mempunyai pintu
koridor yang berbeda-beda. Jika malas bertanya kepada petugas keberangkatan,
silakan lihat monitor-monitor informasi perjalanan yang banyak tersedia di TBS.
Sebenarnya di tiket juga akan tertera di Gate berapa kita harus menunggu. Bus
tiba 10 menit sebelum keberangkatan. Setiap tiket diperiksa petugas melalui
mesin scan barcode. Duduk di bangku paling belakang, sudut kanan tepat di
samping kaca. Saya duduk di kursi nomor 26, dengan jumlah total bangku adalah
27. 1bangku tidak dijual karena digunakan untuk supir atau petugas bus lainnya.
Terlihat paspor Filipina di sebelah kiri dan depan bangku saya. Tidak terlihat
orang Indonesia di dalamnya. Mayoritas pengguna Bus Sri Maju malam ini adalah
warga Thailand. Sebelum keberangkatan, bus crew telah menginformasikan
bahwasanya nanti akan dipungut uang sebesar RM 5 untuk asuransi selama di
Thailand. Karena ini adalah perjalanan kali pertama ke Thailand melalui jalur
Sadao Border, mau tidak mau mengikuti aturan main yang berlaku.
Pukul 23.05 bus melaju
dengan tenang. Lampu dalam bus mulai dipadamkan. Lelap dengan cepat
menghampiri, meski sebenarnya Malaysia lebih cepat 1 jam saja dari Banda Aceh. Rasanya
bus baru berjalan beberapa jam saja, tetapi sudah berhenti. Ah iya, kembali
teringat bahwasanya bus-bus di Malaysia jarang yang menyediakan fasilitas toilet.
Dalam kurun waktu 3-4 jam biasanya bus akan berhenti untuk istirahat sejenak.
Bus Sri Maju di TBS
Pukul 05.00 bus
berhenti di sebuah rumah makan. Sempat bingung karena saya pikir sudah sampai
di perbatasan. Supir mengumpulkan paspor dan uang RM 5 untuk setiap orangnya.
Ketiga orang Filipina yang tadi ada di samping dan depan saya dipisahkan oleh
supir bus. Orang-orang Filipina tersebut bersikeras tidak mau membayar RM 5
karena mereka anggap ini adalah pungutan liar. Hampir 30 menit bus berhenti.
Waktu ini digunakan untuk makan dan ke toilet. Karena tidak terbiasa makan di
subuh hari jadi saya memilih kembali ke bus dan tidur. Belum lama tertidur,
supir membangunkan dan membagikan paspor yang sudah diselipkan kartu kedatangan
(Arrival Card). Sudah diprint dengan jelas, nama, nomor paspor dan tujuan di
Thailand. Wah keren ini bus Sri Maju. Hingga pada akhirnya saya tahu bahwa hampir
semua bus Thailand ke Malaysia memang memberikan layanan seperti ini. Tidak
lama dari perhentian tadi, bus sudah tiba di border Malaysia. Supir meminta
kami untuk turun cepat dan mengantri di imigrasi. Tas tetap ditinggalkan di
bus. Pagi yang menjengkelkan sebenarnya. Mata belum benar-benar terbuka dan
kita harus berbaris rapih dalam antrian. Andaikata sekarang itu siang hari,
sudah barangtentu akan sangat panas. Nyaris 1 jam lamanya untuk menyelesaikan
antrian ini. Imigrasi Malaysia sangat kooperatif. Paspor dengan mudah dibubuhi
cap stempel meski tanpa pertanyaan.
Supir Bus Sri Maju
menyarankan saya untuk duduk di kursi depan. Supaya nanti cepat turun dan lekas
berbaris untuk masuk imigrasi Thailand. “Biasanya paspor Indonesia lama di
Imigrasi” ujar supir bus tersebut. Rombongan Filipina tadi tak kunjung
terlihat. Bus kemudian melaju menuju Border Malaysia yang tidak jauh jaraknya.
Hanya 5 menit kami sudah tiba di Thailand. Antrian di imigrasi ini lebih lama
dari antrian Malaysia karena lebih banyak yang mengantri. 1jam lebih berjalan
pelan dalam antrian, akhirnya saya berhadapan dengan petugas imigrasi. Benar
ternyata, tidak seperti paspor negara lain yang hanya membutuhkan waktu
1-2menit. Rasanya lebih dari 5 menit kemudian paspor saya dibubuhi cap stempel
Imigrasi Thailand. Kartu kedatangan yang saya pegang disobek menjadi 2 bagian.
1 bagian diambil petugas, bagian lainnya diserahkan untuk saya. Petugas
berpesan bahwa nanti harus diserahkan ke petugas imigrasi jika akan keluar dari
Thailand.
Arrival Card
Keluar imigrasi, mata harus
awas untuk memastikan tidak salah naik bus. Supir bus dari kejauhan sudah
memanggil. Ah untung tidak salah naik bus. Disini terdapat beberapa Bus Sri
Maju yang sedang parkir. Sudah lewat pukul 8 pagi. Ternyata menyeberang Malaysia
– Thailand melalui Sadao Border ini cukup melelahkan. Sebagai informasi saja
bahwa hanya boleh masuk Thailand 2kali dalam setahun melalui jalur darat. Dan ijin tinggalnya konon hanya
15hari saja. Tetapi kemarin di paspor terlihat saya mendapatkan ijin tinggal
selama 30hari.
Beberapa tulisan di blog
telah menggambarkan bahwasanya Thailand bagian perbatasan Malaysia tidak
semegah kota-kota lainnya seperti Bangkok atau Chiang Rai. Ah Chiang Rai, kelak
harus main kesana. Terlihat ketimpangan pembangunan disana. Masih terlihat rumah-rumah
papan. Kondisi ini akan sangat terlihat jelas jika kita melintasi Malaysia – Thailand
menggunakan jalur kereta api. Beberapa kuil mulai terlihat. Tulisan-tulisan
Thailand menghiasi sepanjang jalan. Bendera Thailand dan panji panji lainnya
seakan menyambut sepanjang jalan raya. Sepertinya saya tiba di Hat Yai setelah
melihat ada mall besar dari dalam bus. Bus tidak berhenti di terminal,
melainkan di tengah kota. Mungkin karena wajah saya tidak menggambarkan pelancong
sehingga tidak banyak supir taksi yang menawarkan jasanya. Bahkan para penjaja
Baht berlalu begitu saja. Tidak seperti kebanyakan cerita orang-orang bahwa Hat
Yai sedikit ribet.
Dengan santai saya melangkah menyusuri pertokoan sembari
orientasi wilayah. Di sebuah toko yang menyediakan jasa travel saya membeli
simcard Thailand. Untuk seminggu dengan harga 75ribu rupiah. Sebelumnya saya
diarahkan untuk menukar rupiah ke Baht di seberang jalan. Harganya tidak
terlalu bagus, tetapi sebenarnya ini yang terbaik selama saya di Thailand.
1juta rupiah dapat ditukarkan dengan 2050Baht. Menyesal sebenarnya tidak
menukarkan Baht disini, karena saya pikir nanti di Bangkok akan lebih bagus. Setelah bisa menggunakan internet, ternyata baru terlihat bahwa stasiun kereta api tidak jauh jaraknya.
Melihat tarif tiket pesawat yang tidak selow, maka saya putuskan untuk berjalan menuju stasiun kereta api. Ini bisa jadi pilihan untuk sekedar mencari tahu informasi
tiket ke Bangkok. Stasiun kereta api juga bisa menjadi pilihan untuk mengisi
daya telepon seluler dan juga mandi. Iya betul, dari kemarin sore saya belum
mandi sama sekali. Saya mandi di kamar mandi stasiun kereta api dengan tarif
10Baht. Dan setelahnya saya Menyambangi Menyambangi Wat Hat Yai Nai.
Hi, mohon info. Statement ini : Malaysia hanya mengijinkan 1 kali saja dalam 1 tahun untuk masuk ke Negeri Jiran ini melalui jalur darat dan laut, informasinya dari mana ya? Tahun ini saya rencana 2x ke Malaysia visa jalur darat. Thanks.
ReplyDeleteSaya dengar dari kawan kawan sih mbak, tapi setelah saya browsing malah gak nemu aturannya. Makasih ya, saya revisi.
Delete