Setibanya di Ayutthaya abang ojek mengantarkanku ke What Maha That. Cuaca siang itu sangat terik sekali. Meski berada jauh dari Bangkok, tetapi panasnya suhu udara tak jauh beda. Dengan kecepatan santai kendaraan roda dua yang saya naiki mulai membaur dengan lalu lintas Ayutthaya. Meski tidak terlalu ramai hiruk pikuk kendaraan, abang ojek itu tetap saja memacu pelan. Beberapa bangunan berbentuk rumah toko terlihat membentengi jalan raya. Bukan Thailand namanya jika disepanjang jalan tidak terdapat trotoar dan pedestrian. Andai siang itu tidak terlalu terik, pasti menyenangkan berjalan kaki disana. Menikmati taman-taman dengan kolam air di tengahnya. Atau sekaligus menikmati bus-bus dengan karoseri yang unik khas Negeri Gajah Putih. Belum lama lagi menyusuri jalan raya, terlihat dari arah berlawanan seekor gajah terlihat berjalan dengan membawa manusia di atas punggungnya. Sepertinya ini adalah gajah wisata karena terlihat ada tenda yang memayungi penunggangnya. Entah harus senang atau miris melihat gajah-gajah tersebut menyusuri hari.
Tiba-tiba abang ojek menepikan sepeda motornya dan menyatakan bahwa sudah sampai di tujuan. Alih alih mengiyakan, saya ucapkan terimakasih dan berjalan di atas trotoar. Bingung sudah pasti karena tiada tujuan pasti. Siang itu nyaris dikagetkan dengan penjaja es krim yang menawarkan dagangannya. Kulayangkan pandangan berputar mengelilingi poros bumi. Terlihat banyak orang berjalan menuju sebuah bangunan putih besar dengan atap yang menjulang tinggi ke langit. Sepertinya harus memulai siang ini seperti para pengunjung lainnya. Wihan Phra Mongkhon Bophit, demikian nama bangunan besar itu. Terdapat bata merah yang menjadi alur jalan masuk ke arah sana. Di pinggir jalan tersebut terdapat taman-taman luas. Beberapa bendera kuning dipasangkan dalam tiang tiang di tepi jalan. Seperti sedang berada di film-film kekaisaran Mongol.
Jalan Masuk Phra Mongkhon Bophit
Pada tahun 900 tepatnya di bulan ke enam tahun anjing, Raja pertama kali menapakkan kaki di Biara Chi Chiang Sai. Kemudian mendirikan kuil dan patung Budha disana. Informasi ini sepintas saya dengar sayup-sayup dari seorang pemandu lokal kepada pengunjung yang berjalan lambat di depan sana. Beruntunglah siang itu bisa mencuri informasi meski samar-samar. Wajar saja, hari itu saya terlalu pelit untuk menyewa seorang pemandu wisata. Dua tiang tinggi besar menjadi penopang kuil putih besar itu. Setiap pengunjung dapat membeli dupa di pelataran depannya. Puluhan pasang alas kaki terlihat di depan pintu masuk. Sepertinya memang harus melepas alas kaki untuk masuk ke dalam bangunan ini. Dengan perlahan dan tetap tenang, kulangkahkan kaki memasuki kuil. Mayoritas pengunjung langsung masuk ke dalam bangunan, menyusuri tangga menuju bangunan yang lebih tinggi. Disana mereka terlihat berdoa memanjatkan segala rupa harapan bahagia dan sejahtera sebagai penghapus lara kepada Sang Pencipta.
Sejatinya ingin berlama-lama berada di dalam bangunan ini, selain karena sejuk, ornamen-ornamen bangunan ini sepintas seperti yang dikisahkan oleh Van Vliet. Pedagang dari Belanda di era tahun 1600 ini mengisahkan bahwa bangunan ini dibangun untuk tempat sembahyang Raja Siam. Atap tinggi menjulang agar Patung Budha yang megah bisa berada di dalamnya. Lonceng pemanggil diletakkan di bagian terbuka agar orang-orang di sekitar mendengar bunyinya. Sehingga mereka menghentikan aktifitas ketika prosesi sembayang dilaksanakan. Kisah Van Vliet ini dibukukan Richard D. Cushman dalam buku The Royal Chronicles of Ayutthaya. Jangan tanya bukunya dimana ya, saya pun membaca kisahnya di layar monitor laptop saja. Suara lonceng yang dipukul turut merayu untuk bergegas menuju sisi luar bangunan. Ternyata ada pengunjung yang membunyikannya, sepertinya ada ritual-ritual yang dilakukan oleh para pengunjung disana.
Tak habis kagum untuk menikmati siang di Ayutthaya. Bagaimana tidak, Patung Budha yang terbuat dari perunggu di dalamnya konon menjadi patung Budha terbesar di Thailand. Sungguh beruntung bisa menyambangi tempat ini. Tentunya dibutuhkan biaya dan tenaga besar untuk membuat patung tersebut. Kembali samar terdengar bahwa bangunan ini telah mengalami restorasi berkali kali. Dari kisah terbakar karena petir, hingga perbaikan-perbaikan bangunan karena lapuk dimakan usia. Tidak hanya perbaikan dari Thailand saja, bahkan pengunjung dari mancanegara turut mendukung renovasi untuk pemulihan wihara ini. Perdana Menteri Burma (Myanmar) pada kunjungan resminya di Ayutthaya pada tahun 1956 turut memberikan sumbangan untuk pemulihan bangunan ini.
Untuk melepas penasaran saya putuskan untuk berjalan berkeliling bangunan ini. Terdapat penjaja buah potong di belakang bangunan. Cocok memang untuk menghentikan dahaga sementara. Beberapa pohon rindang turut menjadi pagar disana. Rasa letih dan gerah menjadi sirna setelah melihat beberapa candi menjulang tepat di samping Phra Mongkhon Bophit. Sepertinya memang harus kesana, sebagai pelipur lara karena batalnya perjalanan ke Bagan. Candi-candi yang menjulang tinggi itu sepintas memang mirip dengan candi-candi di Bagan, Myanmar sana. Sempat berkeliling untuk mencari jalan masuk, karena bangunan tersebut dikelilingi tembok yang tinggi. Ternyata ada pintu masuk tepat di sebelah kanan Bangunan Phra Mongkhon Bophit. Ketika hendak melangkah masuk, ternyata petugas menanyakan stamp atau tiket tanda masuk. Ternyata memang ada tiket masuk di wilayah paling depan area ini. Dan baru tersadar bahwa sebenarnya abang gojek tidak mengantarkan tepat di wilayah yang harus dikunjungi untuk kali pertama. Untungnya di depan gerbang tersebut terdapat loket yang menjual tiket masuk.
Comments
Post a Comment