Dari sekian banyaknya keberuntungan, kembali menyambangi tanah kelahiran nenek moyang menjadi salah satu dari beragam keberuntungan tersebut. Karenanya waktu-waktu yang tersedia menjadi sangat berharga jika berada disana. Seperti saat ini, selalu menyempatkan diri untuk menikmati sepi di belakang pekarangan rumah. Tidak akan terdengar hingar bingar kemacetan kota. Sesekali saja kendaraan melintas yang terlihat dari pandangan mata. Jumlahnya dapat dihitung karena intensitasnya jauh dari kata puluhan. Mungkin lalu lalang kendaraan yang melintas akan terbilang ramai ketika hari Rabu yang menjadi hari pekan atau ketika ada acara adat (pernikahan, pemakaman, dan lain lain).
Dari belakangan pekarangan rumah opung (opung baoa = kakek, opung boru = nenek) terlihat jelas Danau Toba. Terlambat saja datang, maka keindahannya akan tersamarkan kabut atau pekatnya malam. Sepintas lalu Danau Toba terlihat sangat dekat dari sini. Seperti fatamorgana saja sebenarnya karena jika menggunakan kendaraan roda dua, dibutuhkan waktu 20-30 menit untuk tiba di tepiannya. Rumah Opung berada dalam wilayah Desa Aek Nauli, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Jaraknya hanya 7-8 kilometer saja dari Danau Toba. Tetapi lantas kenapa jarak 7-8kilometer harus ditempuh selama 20-30 menit. Wajar saja karena akses jalan ke Desa Aek Nauli belum sepenuhnya baik. Hanya beberapa kilometer saja dari jalan masuk yang sudah diaspal dengan baik. Selebihnya jalanan lebih didominasi dengan lubang dan bebatuan. Jika cuaca kering maka jalan akan berdebu dan jika kondisi hujan maka akan berlumpur dan menjadi genangan air. Tetapi kondisi ini selalu mengalahkan rindu para perantau seperti kami kepada kampung halamannya.
Meski pemandangan Danau Toba yang terlihat tidak terlalu luas, tetapi keheningan senja menjadikannya syahdu. Sesekali terdengar suara kerbau yang mengais rumput seakan tak jemu. Kicauan burung menambah semarak desa yang masih alami ini. Sebuah bangunan rumah tua masih terliat berdiri meski tak kokoh lagi. Sebagian dinding papannya hilang dimakan jaman. Coretan-coretan dari arang menghiasi dinding yang tertinggal. Beberapa lubang menemani seng yang menjadi atapnya. Mungkin bangunan ini tidak seindah bangunan sekolah dasar di cerita Laskar Pelangi, tetapi bekas rumah ini selalu memberi kesejukan kepada yang berteduh di dalamnya. Andai saja ada kedai kopi disini, pasti suasananya lebih semarak. Selain memandangi Danau Toba dari ketinggian, pandangan mata juga tertuju pada hamparan kebun kopi dan kebun jagung milik penduduk setempat.
Selain memikirkan secangkir kopi, tampaknya jagung bakar juga sangat cocok untuk menikmati senja di Desa Aek Nauli. Sayangnya penduduk sekitar menanam jagung khusus untuk pakan ternak saja. Sehingga jagung yang ditanam tidak cocok untuk dibakar. Jika jagung bakar dirasa sulit untuk didapatkan, roti dan pisang bakar sejatinya dapat menggantikannya. Pekarangan kosong ini berubah menjadi tempat kongkow sore. Meja meja kayu tertata dengan beberapa kursi mendampinginya. Temaram lampu menyala ketika malam tiba. Hiruk pikuk pengunjung berganti dengan keheningan seiring datangnya serangga-serangga malam. Sebagian pengunjung kembali pulang ke tepian Danau Toba, sebagian lagi masuk ke rumah-rumah penduduk yang telah disewakan.Lamunan ini kembali semakin dalam. Pikiran tentang sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan) terus menghiasi angan. Konsep berkelanjutan ini seperti tentang mengunjungi suatu tempat sebagai seorang wisatawan dan berusaha membuat dampak positif terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Wisatawan yang berkunjung tidak hanya menghamburkan uang dan menghabiskan waktu saja. Tetapi ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama dengan masyarakat lokal dan menambah pengetahuan bersama. Ada pengalaman-pengalaman baru yang dirasakan pengunjung dan masyarakat setempat. Wisatawan yang datang dapat merasakan suasana tinggal bersama dengan masyarakat adat. Mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang masih dijalankan, sembari ikut bertani, menggembalakan ternak atau membeli souvenir yang dijajakan oleh masyarakat. Masyarakat yang nantinya ditinggalkan juga tidak hanya sekedar mendapatkan pundi-pundi keuangan saja. Tetapi ada pengetahuan baru tentang edukasi hidup sehat, reboisasi, sampai ke tataran Sustainable Development Goals (SDGs/ Tujuan Pembangunan Berkelanjutan).
Hadirnya sustainable tourism akan mendorong perekonomian masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain mengembangkan perekonomian masyarakat, sustainable tourism akan mendorong desa untuk peduli pada keselamatan lingkungan, kesehatan lingkungan, lebih ramah terhadap gender. Sehingga desa dapat menetapkan sebuah konsep SDGs Desa. SDGs Desa merupakan role pembangunan berkelanjutan. Konon katanya SDGs Desa akan masuk dalam program prioritas penggunaan Dana Desa Tahun 2021. Andai saja konsep SDGs Desa dipadukan dengan Sustainable Tourism pasti sangat nikmat rasanya secangkir kopi dan sepiring mie gomak dari Desa Aek Nauli, sembari menikmati pemandangan Danau Toba dari kejauhan. Andai saja...
Duh kangen euy
ReplyDeleteNanti Desember pulang lagi kita ya
Delete