Sipata ro tu rohakku
(kadang muncul dalam hatiku)
Na hubereng i torang
(yang kulihat terang)
Gabe naeng tadingkonon ku
(membuat ingin kutinggalkan)
Dalan naung hubolus hian
(jalan yang pernah kulalui)
Sepenggal lagu Gara milik Tongam Sirait memenuhi kendaraan yang kami gunakan. Melalui telepon seluler disambungkan secara wireless ke pemutar musik di mobil. Sebelumnya kami sudah menuju Salib Kasih dan harus gigit jari karena sudah tutup pada pukul 5 sore tadi. Setelah Jembatan Simorangkir kami putuskan belok ke kiri hingga ujung dan kemudian ke kanan mengarah ke Desa Saitnihuta. Sepintas Saitnihuta jika diartikan dari Bahasa Batak ke Indonesia adalah Penyakitnya Desa. Tapi jujur saya kurang sepakat dengan arti ini, pasti ada makna tersendiri kenapa desa ini diberi nama Saitnihuta. Setidaknya sedari awal saya penasaran terhadap desa ini sebagai bagian dari sejarah penyebaran agama Kristen di Tanah Batak. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mayoritas penduduk Tarutung adalah etnis Batak. Garedja Dame yang berada di Desa Saitnihuta merupakan bagian dari kisah perjalanan misionaris IL Nomensen di kurun waktu tahun 1863.
Beberapa catatan yang sempat menjadi referensi memberitahukan bahwa Garedja Dame ini terletak di Huta Dame. Huta adalah sebutan desa dalam Bahasa Batak. Garedja Dame berada tepat di tepi jalan masuk ke desa. Meski jalan tidak terlalu lebar, tetapi dapat dilalui oleh 2 kendaraan roda empat. Mobil Bapa Uda Opung Angel Sinurat dari Lubuk Linggau yang kami gunakan, diparkirkan tepat di seberang gereja ini. Karena gereja tepat berada di tepi jalan. Terdapat bangunan menyerupai rumah di seberang gereja. Tampaknya bangunan ini juga merupakan bagian dari Garedja Dame. Terdapat pintu masuk di bagian tengah bangunan. Sementara di sisi kanan kirinya terlihat jendela dari kayu. Hampir keseluruhan bangunan ini dibangun menggunakan kayu. Bangunan ini identik dengan warna kuning krim dan ada lis hijau pada jendela dan lubang ventilasinya. Atap yang ditutupi seng dibentuk menyerupai limas dan terlihat ada 3 titik sebagai puncaknya. Dari depan terlihat jelas tulisan Garedja Dame II pada muka bangunan. Apakah ini merupakan bangunan lanjutan dari Garedja Dame, karena ada angka II terlihat disana.
Garedja Dame II
Sejujurnya kami datang di waktu yang tepat, menjelang pukul 6 sore. Dimana lalu lintas di sekitar gereja tidak terlalu ramai. Sehingga kami dapat mengabadikan gambar dengan santai. Meski suasana sore pada hari itu cukup terik, sinar matahari begitu menyilaukan. Sungguh aneh sebenarnya karena Tarutung ini merupakan kawasan daerah yang sangat dingin. Untungnya tidak terdapat pagar pada Garedja Dame sehingga bangunan ini terlihat lebih luas. Dari depan terlihat jelas sebuah pintu di tengah bangunan. Bentuk pintunya terlihat sangat unik karena pada bagian atas dibentuk menyerupai seperempat lingkaran. Jika kedua pintu dibuka maka akan terlihat menyerupai persegi panjang dan separuh lingkaran. Pada bagian kanan dan kiri pintu masuk terlihat ada tangga menuju balkon lantai dua. Dari luar akan terlihat jelas pada lantai dua terdapat pintu untuk masuk ke dalam bangunan. Sayangnya pada saat itu kedua tangga dibatasi oleh rantai yang dikunci. Tetapi menikmati bangunan bersejarah yang terkunci dari luar saja sudah cukup mengobati rasa penasaran ini.
Pintu masuk sepertinya memang sengaja ditempatkan menjorok ke depan dan menyatu dengan tower yang tingginya melewati lantai dua. Seperti kebanyakan gereja di daerah lain, pada bagian atap disematkan Salib. Uniknya Garedja Dame adalah terdapat pengeras suara pada bagian tower. Apakah pengeras suara ini juga dijadikan media untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas? Tepat di atas pintu ada logo Huria Kristen Batak Protestan. Posisinya tepat berada di tengah dan dibawahnya terdapat jelas tulisan GAREDJA DAME. Sementara tepat di bawahnya tertulis angka 1864 - 1933. Saya belum mendapatkan referensi yang kuat apakah ini tahun pembangunan gereja atau rentang waktu Nomensen selama di Garedja Dame. Karena kisah Nomensen di Tarutung dimulai sejak tahun 1963. Warna bangunan Garedja Dame ini sama persis dengan warna bangunan yang bertuliskan Garedja Dame II.
Lantas apa yang membuat gereja ini mempunyai ikatan yang kuat dengan Nomensen? Pikiran saya petang itu tiba-tiba dibuyarkan oleh seorang lelaki paruh baya yang tergesa-gesa membuka pintu gereja. Nyaris pukul 6 sore, apakah akan ada kebaktian sore itu? Tentunya pada gereja dengan jemaat yang ramai, kebaktian sore tidaklah begitu mengherankan. Keyakinan saya semakin kuat ketika lonceng gereja berdentang sangat keras memecah suasana sore itu. Sebagian gereja memang membunyikan loncengnya ketika pukul 6 pagi, 6 sore, dan ketika akan memulai ibadah kebaktian. Semasa saya tinggal di Pringsewu, Lampung, lonceng Gereja Katolik yang terdengar ini menjadi penanda waktu pukul 6 sore dan 6 pagi.
Perlahan kami mendekati pintu, masuk dan mencari petugas gereja tadi. Setelah bertemu kemudian menanyakan apakah akan ada ibadah kebaktian sore ini. Ternyata tidak, beliau memang bertugas untuk membunyikan lonceng tepat pukul 6 pagi dan 6 sore. Setelah mengutarakan maksud bahwa kami dari jauh dan sengaja mampir, beliau mempersilakan kami untuk menikmati suasana Garedja Dame dari dalam. Bahkan beliau menyarankan untuk masuk dan menjelaskan sekelumit kisah Garedja Dame. Darinyalah kami ketahui bahwa Garedja Dame merupakan gereja pertama yang didirikan oleh Nomensen. Meski telah dipugar, bentuk gereja ini tidak mengalami perubahan sedikitpun. Sejak di awal hingga saat ini, Garedja Dame hanya diperbaharui warna cat saja agar tidak pudar.
Rasa kagum pada gereja ini semakin memuncak setelah benar-benar berada di dalamnya. Tiga baris kursi tersusun rapih di dalamnya. Setiap kursi terbuat dari kayu panjang dengan penyangga tempat meletakkan Buku Ende atau Alkitab / Bibel. Terdapat beberapa nomor dalam ruas-ruas kursi, ternyata nomor tersebut digunakan sebagai tanggapan terhadap penerapan protokol kesehatan. Diantara kursi baris tengah dan pinggir, terdapat kayu-kayu besar menjadi tiang Garedja Dame. Tiang ini yang juga menyangga bagian lantai dua bangunan. Lagi-lagi warna bangunan identik dengan kuning krim dan hijau. Lantai gereja telah menggunakan keramik, tampaknya ini bagian dari pemugaran. Bagian langit-langit seolah mengikuti pintu bagian atas. Posisinya cekung ke atas, sehingga bagunan terlihat lebih luas dan biasanya lebih sejuk karena semakin banyak udara yang berada dalam ruangan. Terlihat jendela-jendela besar pada bagian kanan kiri gereja. Sirkulasi udara yang sangat luas memang menjadi identik pada bangunan-bangunan lama sejak jaman Belanda.
Dari kejauhan terlihat jelas tulisan DAME MA DI HAMU. Sementara pada bagian atas tulisan tertulis Lukas 24:36. Sepertinya kata kata tersebut dikutip dari Injil Lukas tersebut. Dame ma di hamu merupakan Bahasa Batak yang artinya Semoga kedamaian besertamu. Mimbar besar tempat Pendeta berkotbah terlihat jelas pada bagian depan gereja, seperti kebanyakan gereja HKBP lainnya. Langit-langit di atas mimbar kembali mengundang rasa penasaran. Bentuknya menyerupai limas bundar seperti separuh bola. Untuk menyatukan setiap bagian atapnya, disambungkan menggunakan kayu menyerupai jaring laba-laba. Sungguh maju pemikiran orang yang membangun gereja ini pada saat itu. Tepat di belakang mimbar juga terlihat beberapa jendela yang ditutupi oleh kaca. Selain udara, jendela ini juga yang menjadi media masuknya cahaya dari luar.
Beberapa lukisan dan foto mewarnai dinding Garedja Dame. Pada bagian kiri depan bangunan terdapat sebuah foto yang tidak asing. Wajah Dr. Ingwer Ludwig Nommensen terlihat jelas disana. Tampaknya pengurus gereja sengaja memasangnya untuk menjadi pengingat kepada siapa saja yang datang ke Garedja Dame. Wajar saja jika sejarah itu terus disampaikan dari generasi ke generasi. Kedatangan Nommensen di Tanah Batak pada awalnya mendapatkan sangkaan dari Raja-Raja Batak sebagai orang suruhan dan menjadi mata mata Kompeni. Menjadi pertanyaan saya hingga tulisan ini disusun, ditengah-tengah penolakan Raja Raja Batak akan kehadiran Nommensen akan misionarisnya, tetapi Raja Ompu Bumbung dan Raja Ompu Sinangga memberikan sebidang tanah di Pearaja untuk tempat tinggal Nommensen.
Pada tahun 1964 Nommensen kembali mendapatkan tanah di daerah Saitnihuta. Dikisahkan bahwa tanah yang diberikan disebut-sebut sebagai tanah yang aneh dan berpenyakit. Apa sebab? Karena tidak ada tanaman yang dapat tumbuh disana. Tetapi fakta ini bukan tanpa sebab, sebelumnya daerah ini sangat subur karena dilalui aliran Sungai Situmandi. Di tahun 1960 terdapat gempa besar yang menyebabkan aliran sungai berubah dan tidak melintasi daerah ini lagi. Bekas palung sungai tersebut yang kemudian diberikan kepada Nommensen dan dibangun rumah di atasnya. Meski sudah berada di daerah Saitnihuta, tidak sekali saja Nommensen diganggui oleh Raja Raja Batak. Nommensen tetap teguh menyebarkan pendidikan ala barat di Tanah Batak tercinta. Pun keahliannya dalam pengobatan yang lebih modern dari pengobatan tradisional pada saat itu menjadikan dirinya sangat dekat dengan masyarakat di sekitar. Merujuk pada catatan Abangda Adinto Fajar, bahwa kisah Huta Dame pada akhirnya menjadi perkampungan Kristen di tengah-tengah Rura Silindung. Rura Silindung adalah lembah di Silindung, Silindung merupakan salah satu bagian dari wilayah Tanah Batak yang
meliputi sebagian besar Kabupaten Tapanuli Utara. Sekarang wilayahnya meliputi Tarutung, Sipoholon, Adiankoting, Sipahutar, Garoga,
Pangaribuan dan sekitarnya, serta sebahagian Kecamatan Pahae Jae, Pahae
Julu, Purbatua dan Simangumban.
Waktu telah menunjukkan pukul 18.30, tidak terasa kami telah lama berada di dalam gereja ini. Setelahnya kami berpamitan kepada pengurus Garedja Dame. Meski gagal ke Salib Kasih, setidaknya rasa penasaran terhadap Garedja Dame telah tersampaikan. Jika sudah sampai ke Tarutung, jangan lupa singgah ke Saitnihuta, eh Huta Dame, ah bebaslah, keduanya juga boleh disebutkan.
Comments
Post a Comment