Desa Pampang merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Samarinda Utara, kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia. Desa ini terletak di tepi Sungai Mahakam, yang merupakan salah satu sungai utama di Indonesia. Penduduk Desa Pampang sebagian besar berasal dari suku Dayak, yang terkenal dengan adat dan kebiasaan tradisional mereka. Desa Pampang konon berdiri dari hasil bermigrasinya suku Dayak Kenyah dari Apokayan Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara pada tahun 1967.
Desa Pampang terkenal dengan pemandangannya yang indah, yang meliputi
hutan yang hijau dan pemandangan tepi sungai yang indah. Desa ini juga
menjadi destinasi populer bagi wisatawan yang ingin mengalami kehidupan
tradisional suku Dayak, termasuk seni, musik, dan tarian mereka. Ada
banyak kegiatan budaya dan acara yang diadakan di Desa Pampang sepanjang
tahun, yang memberikan pengalaman yang unik dan tak terlupakan bagi
para pengunjung. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pun menetapkan Desa Pampang sebagai desa adat Dayak Kenyah pada tahun 1991.
Dayak Kenyah
Dayak Kenyah adalah salah satu dari suku Dayak yang mendiami wilayah
pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Suku Dayak Kenyah
memiliki kebudayaan yang kaya dan unik, termasuk dalam bahasa dan adat
istiadat mereka. Suku Dayak yang berpindah ke Mampang berasal dari Muara Wahau, Long
Segar, Tabang, dan Long Iram di Kabupaten Kutai, hingga akhirnya mereka
pun menetap di Desa Pampang dan mendirikan Rumah Lamin yang saat ini
dikenal dengan Lamin Adat Pemung Tawai. Tidak sedikit literasi yang menyebutkan jika suku Dayak yang menetap di Desa Mampang merupakan Suku Dayak Kenyah. Literasi lain menyebutkan bahwa Dayak Kenyah juga berasal dari Semenanjung Malaysia, tepatnya di kawasan Sarawak.
Bahasa yang digunakan oleh suku Dayak Kenyah adalah bahasa Kenyah, yang memiliki banyak dialek dan varian yang berbeda tergantung pada daerah asalnya. Bahasa Kenyah termasuk dalam kelompok bahasa Austronesia.
Adat istiadat suku Dayak Kenyah juga sangat beragam dan kaya. Mereka memiliki banyak upacara dan ritual yang dilakukan dalam berbagai kesempatan, seperti upacara adat kelahiran, perkawinan, dan kematian. Mereka juga terkenal dengan seni ukir dan tenun yang sangat halus dan indah.
Dayak Kenyah di Malaysia
Suku Dayak Kenyah juga ditemukan di wilayah pedalaman Malaysia, tepatnya di negara bagian Sarawak di Borneo. Suku Dayak Kenyah di Malaysia juga memiliki kebudayaan yang kaya dan unik, termasuk dalam bahasa dan adat istiadat mereka.
Bahasa yang digunakan oleh suku Dayak Kenyah di Malaysia sama dengan bahasa yang digunakan oleh suku Dayak Kenyah di Indonesia, yaitu bahasa Kenyah. Bahasa Kenyah di Malaysia juga memiliki banyak dialek dan varian yang berbeda tergantung pada daerah asalnya.
Adat istiadat suku Dayak Kenyah di Malaysia juga mirip dengan yang ada di Indonesia. Mereka memiliki banyak upacara dan ritual yang dilakukan dalam berbagai kesempatan, seperti upacara adat kelahiran, perkawinan, dan kematian. Mereka juga terkenal dengan seni ukir dan tenun yang sangat halus dan indah, serta tarian tradisional yang menggambarkan kisah-kisah tentang kehidupan mereka di pedalaman.
Desa Wisata PampangSetelah berkendara kurang lebih 30 menit dari Kota Samarinda, kami tiba di pintu gerbang Desa Wisata Pampang. Selanjutnya kami melanjutkan kendaraan hingga 5 menit lamanya. Terlihat beberapa bangunan menyerupai rumah adat khas Dayak berbaris di jalanan. Sebuah papan penunjuk nama mengarahkan kami untuk berbelok ke kanan. Sempat kebingungan karena rumah adat yang besar tidak juga terlihat. Oh iya, saya sempat melihat ada sebuah gereja besar di desa ini. Tampaknya masyarakat Desa Pampang banyak yang beragama Kristen atau Katolik.
Sebuah pagar kokoh berukiran dayak terlihat menyambut kami di tepi jalan. Tepat disebelahnya terdapat sebuah pos retribusi yang dijaga oleh pemuda pemudi yang berpakaian khas Dayak. Tiket masuk yang ditetapkan adalah sebesar 40ribu rupiah. Tiket ini sekaligus menjadi syarat masuk ke rumah adat Dayak. Lahan parkiran yang disediakan cukup luas. Tepat di tengah parkiran, terdapat patung tinggi yang menjulang ke langit, seperti Tottem orang Indian. Di sekeliling halaman parkir terlihat kios-kios yang menjajakan souvenir dan jajanan makanan minuman. Benar-benar desa wisata menurutku, disini ada sustainable tourism yang dibangun dan melibatkan masyarakat.
Aku sempat berfoto foto dengan latar belakang rumah adat dayak ini. Motif dan ukirannya sangat unik sekali. Oh iya, jika ingin berfoto dengan masyarakat sekitar, jangan lupa memberikan sedikit uang jajan ya. Nanti di dalam ada juga yang menjual kupon untuk foto bersama para penari yang berpakaian adat.
Tepat pukul 2 siang, pergelaran seni budaya Kenyah digelar. Secara perlahan dan jelas, informasi disampaikan oleh pembawa acara. Beliau menjelaskan akan ada 10 jenis tarian yang akan dipentaskan hari ini. Setiap tarian mempunyai makna dan arti yang berbeda-beda. Bahkan kita sebagai pengunjung juga diajak untuk menari secara langsung bersama para penari. Tentunya ini menarik bukan, menari sambil diiringi alunan musik Sape yang dimainkan secara langsung oleh Masyarakat Dayak Kenyah. Pertunjukkan akan berlangsung kurang lebih satu jam. Meski demikian, waktu ini seperti nyaris sebentar, karena saya tiba tiba berasa di ujung pertunjukkan.
"Tiga Tawai" ucapan yang berarti "Terimakasih" menutup pergelaran seni tari dan musik Suku Dayak Kenyah sore itu. Selanjutnya pengunjung dapat berfoto dengan para penari yang berpakaian suku dayak. Setiap pengunjung yang akan berfoto-foto, dapat membeli kupon di panitia. Seingat saya 1 kupon foto dikenai tarif 25 ribu rupiah dapat digunakan untuk berfoto 3-4 kali foto.
Tato Dayak Kenyah
Saya sempat kagum pada motif tato yang terlihat pada penari dan pemain musik saat itu. Masyarakt Dayak menjadikan tubuh sebagai media yang tepat untuk berekspresi dan menunjukkan identitas. Sehingga tato yang digunakan merupakan simbol-simbol yang bermakna. Bapak Tua pemain Sappe menuturkan bahwa Tatto adalah ikatan batin yang dibawa hingga pada akhir ujung hayat. Sehingga Tatto yang dibuat tidak pernah dihapus bahkan sampai meninggal dunia. Tatto juga berkaitan dengan ritual tradisional. Sehingga seseorang tidak sembarangan membuat tato di tubuhnya.
Seiring berjalannya waktu, ada pergeseran tentang budaya tatto di masyarakat Dayak Kenyah. Tidak semua keturunan Dayak Kenyah ingin membuat tatto dalam tubuhnya. Sebagian masyarakat ingin melanjutkan kehidupan ke arah yang lebih modern yang melarang penggunaan tatto dalam dunia kerja. Tetapi ada pemikiran segelintir orang yang mengganggap tato itu sendiri dianggap tidak membawa pengaruh dan dampak pada pemakainya.
Tato bagi masyarakat Dayak biasanya dibuat dengan menggunakan jarum bambu dan tinta alami. Pembuatan dan bahan yang digunakan masih sangat tradisional. Tinta yang digunakan terbuat dari bahan tanaman. Desainnya dapat bervariasi tergantung pada jenis kelamin, usia, dan status sosial individu, dan seringkali mewakili aspek penting budaya dan kepercayaan, seperti animisme, alam, dan pemujaan leluhur.
Seperti Suku Dayak lainnya, masyarakat Dayak Kenyah juga menggunakan alat dan metode tradisional dalam pembuatan tato. Meski hampir sama dengan masyarakat Dayak lainnya, tetapi Suku Dayak Kenyah lebih cenderung menyukai pembuatan tato dengan motif anjing dan motif manusia.
Pemakaian tato juga tidak boleh sembarangan. Ada kaidah-kaidah yang diterapkan. Seperti tato motif burung enggang hanya khusus digunakan oleh orang orang tertentu. Motif ini kerap disebut sebagai tato dunia atas. Ada kecenderungan bahwa motif ini digunakan oleh kaum bangsawan. Sedangkan motif dunia tengah (pohon kehidupan) dan dunia bawah (naga) digunakan oleh masyarakat biasa
Comments
Post a Comment