Jerowaru merupakan
sebuah desa di Lombok Timur. Kami tempuh dengan perjalanan kurang lebih 2 jam.
Apa menariknya Jerowaru? Mungkin saja saya tidak tahu. Tetapi daerah ini
merupakan penghasil lobster dan kerapu. Maka dari itu Jerowaru memiliki dermaga
yang lumayan besar. Meski jarang masuk kapal besar. Untuk mengganjal perut,
maka roti dan makanan ringan adalah solusinya. Hampir memasuki lokasi Jerowaru,
jalanan menyempit. Berbeda jauh dengan lintasan selama di kota tadi. Mungkin
karena malam maka gelap adalah teman dari perjalanan. Nyaris pukul 9 malam
waktu Jerowaru kami tiba disana. Tak lama hidangan khas Sasak sudah kembali di
depan mata.
Tanpa cuci kaki dan mandi lahap tak terperi habis sudah makanan
makanan ini. Tentunya sesuai adat Sasak, yang tua terlebih dahulu. Sehabis
makan tak lupa minum kopi. Lelah tak kunjung datang meski mata telah meminta.
Selepas mandi kami menuju dermaga yang diceritakan tadi. Pemuda kampung
setempat sudah lama menanti. Memang demikian adat kampung ini. Setiap ada tamu
yang datang, selalu diajak bersilaturahmi sembari menikmati minuman khas
setempat dan beberapa bungkus kacang. Minuman ini semacam nira yang masih
manis, jika tak suka bisa dicampur dengan sedikit bubuk kopi. Tidaklah
memabukan, cocok jadi teman untuk melepas malam. Satu lagi yang menjadi ingatan
adalah “kesah”. Para pemuda dan orang tua di Jerowaru dan Lombok kebanyakan
pandai ber-kesah. Kesah merupakan cerita cerita lucu jenaka untuk menghibur
orang lain. Tak jarang gelak tawa pecah memecah kesunyian malam. Indah memang
berada di tengah tengah mereka. Tak ada perbedaan status sosial disini. Tak ada
keluh kesah, semua bergembira nikmati canda tawa. Sembari memainkan gitar,
adalah Bang Heri yang baru saja pulang dari Korea menambah erosi malam. Lelucon
yang dikeluarkannya semacam kesah andalan kampung ini. Padahal lebih cadas lagi
kalau Amak Jali (kawan yang turut serta dari Jogja) turut serta. Sayangnya
beliau pergi ke rumah keluarga. Perbekalan habis memaksa kami kembali kerumah. Belum
lagi sampai rumah, Bang Heri mengajak kami duduk menikmati malam di simpang
tiga Jerowaru. Tepat di depan sebuah pasar yang baru saja diresmikan. Dulunya
pasar ini hidup enggan mati pun tak mau. Tetapi setelah ada pengembangan,
barulah tampak bagaimana tegaknya sebuah pasar tradisional. Amak Jali rupanya
hadir ditengah tengah kami. Hanya saja malam ini tak ada kesah dari nya. Entah
mengapa tiba tiba beliau bercerita, semenjak ada pasar nama daerah ini berubah
menjadi JOR, bukan lagi Jerowaru. Iya JOR, Jalan Orang Ramai. Sontak saja gelak
tawa memecah keheningan malam. Sembari melepas rindu, kawan kawan berbicara
dengan malam yang sendu. Malam cepat berlalu memaksa kami lekas merapat ke
pintu. Sebelum lelap benar benar datang, mie rebus udang temani malam.
Pagi sepertinya cepat
sekali datang. Baru saja beberapa jam yang lalu mata terlelap. Selepas mandi
kembali menikmati hidangan ala Sasak. Pagi ini tampaknya makanan super berat.
Ada sayur, ikan, udang, sambal juga tentunya. Nikmat temani nasi yang masih
hangat. Dengan lahap sebentar saja mangkuk dan bakul dari anyaman bambu itu
langsung kosong. Tidur telah membuat kami kelaparan tampaknya. Setelah segelas
kopi habis maka saatnya untuk menikmati sisi lain dari Jerowaru. Kendaraan
dipacu menuju Tanjung Ringgit. Inilah daerah yang diceritakan masih jauh dari
sentuhan jaman. Tak lama berpacu diatas aspal, jalan berkerikil telah
menyambut. What??? Ternyata kami masuk ke areal pedalaman tanpa aspal dan
listrik. Sesekali genangan air memperlambat perjalanan kami. Setahun yang lalu
jalanan ini masih sepi, tetapi sekarang sudah banyak yang datang kemari, ujar
Jali datar. Pantai Pink begitulah mereka menyebutnya. Sebuah pantai yang indah
pasirnya berwarna merah jambu dikala matahari pagi naik dari ufuk timur. Di
depan pandangan mata Rinjani katanya, sedang pantai yang menyerupai huruf U itu
sendiri bertemankan beberapa pulau kecil di depannya.
Kemudian kendaraan
berhenti di sebuah warung kecil. Ada beberapa rumah dari bilik bamboo dengan
rumbai jadi atapnya. Benar benar masih tradisional sekali. Belasan ekor ayam
sibuk berlarian. Sementara sapi sapi melenguh santai dalam kandangnya. Ternyata
kami mampir ke rumah Paman nya Jali. Turut serta juga tadi dalam rombongan anak
dari Paman. Sengaja saya sekolahkan di Jerowaru karena disini sekolah tak
menentu ujarnya pelan. Disana kan lebih maju, sehingga pola pikir anak bisa
lebih terpacu. Lagi lagi segelas kopi langsung tersedia di depan pandangan
mata. Sembari bercerita, sebuah gubuk kecil semacam pos ronda menemaninya.
Pepohonan yang rimbun juga anggun turun menghalau sinar mentari yang turun.
Nyaman memang berada di daerah ini, sayangnya air bersih masih sangat sulit
didapatkan. Pemerintah masih mengupayakan air bersih dengan cara mengirimnya,
kemudian ditampung di tangki tangki besar. Satu kemajuan di desa ini adalah
solar system. Pemancar yang dipasang untuk menampung tenaga surya. Sehingga
alat alat elektronik dapat digunakan disini. Miris memang mendengarnya. Tak
lama berselang melajulah kendaraan ke arah Tanjung Ringgit. Tampak beberapa
kendaraan dinas yang digunakan untuk berwisata atau saja digunakan untuk pura
pura bekerja atau memang mungkin nanti di Tanjung Ringgit lokasi mereka
bekerja, entahlah. Jarak rumah yang satu dengan yang lainnya sangatlah jauh.
Bisa sampai 500meter. Sangat sulit ternyata untuk bertetangga. Tak lama
berselang, kami dikejutkan dengan sekawanan orang hutan yang asyik mencibir
dari rindang pepohonan. Tampaknya mereka belum tahu kalau rasanya dilempar
pisang ya. Jadi kalau nantinya kalian singgah kemari, janganlah lupa untuk
membawa pisang. Ingat pisang beli ya, jangan mencuri. Tak kurang dari 20menit
perjalanan sampailah kami di areal yang ramai kendaraan parkir. Setelah
membayar retribusi 5ribu rupiah perjalanan kami lanjutkan. Loh mau kemana kita,
bukankah pantai itu dibawah sana? Ternyata tak sampai 5 menit kami sampai di sebuah
lokasi gedung milik pemerintah. Dengan sebuah mercusuar sebagai temannya.
Rupanya ini gedung menara suar milik Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, Distrik Navigasi Klas II Benoa. Tepatnya Instalasi Menara
Suar Tanjung Ringgit DSI - 4198. Sebenarnya kendaraan bisa dibawa masuk lebih
dalam, tapi kasian mesinnya. Jadilah kami berjalan kaki ke dalam. Tak jauh
100meter kagum mata kami memandang samudra luas. Beberapa lapisan laut yang
berwarna biru muda sampai ke biru yang paling tua jelas terlihat disana. Ibarat
lapangan sepakbola yang dimodifikasi sedemikian rupa. Indah memang melihat
pusara pusara air itu akrab di bawah jurang sana. Cuaca terik tak mengecilkan
niat kami untuk terus berjalan. Satu lagi yang membuat kami terkejut adalah
kami berdiri di atas tebing. Jika melihat dari sisi lainnya sangatlah indah.
Keindahan yang menyeramkan. Karena bila jatuh, nyawa jadi taruhan. Ingin
rasanya turun ke dasar palung menikmati kesejukan pantai. Tapi apa daya, jalan
tiada. Cukup mengagumi saja tebing tebing indah dari atas sana. Sungguh
menyesal kalian jika ke Lombok tak singgah ke Tanjung Ringgit. Satu keanehan di
depan mata. Hanya ada sebatang pohon yang tegak berdiri di tepi jurang. Ada
yang mengatakannya sebagai pohon surga. Dimana terik mendera, pohon ini bisa
jadi payung yang meneduhkan. Tak jauh dari pohon tersebut terdapat meriam
Jepang yang kurang terurus. Jepang sangatlah tepat meletakkan meriam ini
disini. Pandangan mata begitu luas memandang samudera. Jika musuh tiba,
sangatlah mudah menghalau dari atas sana. Seperti kebanyakan orang lainnya
mengabadikan diri bersama meriam ini adalah lumrah. Kembali menyusuri jalan
setapak ke arah bidang ujung lainnya. Ternyata tak jauh dari meriam tadi
terdapat sebuah goa yang menjorok ke dalam tanah. Semacam lubang besar yang
mengarah ke dasar tanah. Ingin rasanya turun ke dasar sana. Apa daya tenaga
hanya menghantarkan sampai ke titik tengah goa tersebut. Beberapa kawan yang
sampai ke dasar mengatakan di dalam bau wallet. Tak lama disana karena dengan
tiba tiba ada rombongan lainnya dalam jumlah banyak tiba. Sejenak menikmati
samudera mata tak lelah menatap Nusa Tenggara di seberang sana. Ada rayuan
menyeberang kemana, apa daya waktu yang tersisa tak mengijinkan pemirsa. Dengan
langkah gontai dan layu kembali ke tempat memarkirkan kendaraan tadi. Rasanya
ingin berlama lama disini. Pasti seru jika bisa menginap barang semalam di
tanah ini. Menikmati rayuan angin, deburan ombak, bisikan rumput rumput kecil. Turut
serta dalam rombongan tadi Bang Heri, sembari berkelakar membuat letih sirna.
Tak lama kami sudah berada di lokasi parkir awal tadi. Setelah memarkirkan
kendaraan, kami menuruni tebing. Sudah ada jalan masuk rupanya. Tampak dari
atas belasan mobil terparkir di bibir pantai. Indah pantai pink ini. Entah
apapun namanya, jujur saya mengagumi keindahan letaknya. Pasir yang putih,
ombak yang kecil menambah kemesraan kami siang ini. Ternyata banyak orang yang
sudah lebih dulu datang kemari. Bahkan dalam kategori rombongan. Tentunya sudah
ada pedagan makanan minuman di pantai ini. Hanya saja tidak ada fasilitas
lainnya. Hanya ada penyedia jasa layanan keliling pantai dengan sampan. Dengan
50ribu saja kita dapat menaiki sampan untuk mencapai pulau kecil yang berjarak
kira kira 1 mil dari bibir pantai. Jika kalian ingin memancing dapat berjalan
ke ujung pantai sebelah kanan karena ada tebing disana. Juga telah dibangun
pondokan untuk berteduh. Ternyata Paman sudah berada disini. Anak paman
langsung mandi menikmati hari. Sedang kami berkelakar sembari ditemani segelas
kopi. Aih indahnya hari ini. Hampir sejam lamanya kami menikmati pantai indah
ini. Sayangnya gunung kebanggaan masyarakat Lombok tertutupi awan. Jika cuaca
cerah, Rinjani terlihat indah dari sini. Sebenarnya paman mengajak kami untuk
menginap barang semalam di pantai ini. Tetapi apa daya waktu memaksa segera.
Dengan menumpang mobil paman bak terbuka, naiklah kami menapaki tebing yang
curam ini. Setiap kendaraan hanya berani naik satu persatu. Tampak di depan
sana ada kendaraan yang terbatuk batuk dipaksa menapaki jalan. Ngeri ngeri sedap
begitu kami mengatakannya. Dengan sedikit berasap sampailah kami di tempat
parkir di atas sana. Alih-alih menikmati waktu, saya tak turun dari bak
belakang. Turut serta dengan paman kembali kerumah. Rido dan Eko serta anak
Paman ada bersama di bak belakang ini. Kawan lainnya berada di mobil plat F
yang kami sewa sejak kemarin. Sembari menikmati jalan yang kurang baik,
sesekali kamera hp yang ala kadarnya ini turut mengabadikan perjalanan hari
ini.
Comments
Post a Comment