Akhirnya semua pengunjung Stasiun Bangkok kembali berjalan dan beraktifitas. Setelah sebelumnya terhenti terdiam mendengarkan lagu Kebangsaan Thailand. Seperti kebanyakan stasiun kereta di Indonesia, loket penjualan tiket akan terlihat sangat jelas dan mencolok. Saya tidak langsung menuju penjualan tiket. Hendak menikmati suasana pagi Bangkok Railways Station. Ya benar sekali, Stasiun Kereta Bangkok dalam bahasa Inggris tertulis Bangkok Railways Station. Stasiun ini juga disebut sebagai Hua Lampong Station. Suasana stasiun ini sangat ramai. Hiruk pikuk pengunjung terlihat jelas. Wajar saja, stasiun ini menghubungkan Bangkok dengan berbagai kota lainnya di seantero Thailand. Sepertinya Stasiun Hua Lampong menjadi jantung transportasi kereta api Thailand.
Bangkok Railways Station / Hua Lampong Station
Bangkok Railways Station / Hua Lampong Station
Telepon Umum
"Ayutthaya" pintaku dengan senyuman.
"20 Baht"
Harga tiketnya lumayan murah. Jika dirupiahkan setara dengan 10 ribu rupiah. Masih ada beberapa koin yang tersisa dari Hatyai semalam. Hanya saja butuh waktu untuk menghitung pasti, koin koin mana saja yang bisa digunakan. Biasanya saya turunkan beberapa keping, kemudian petugas penjual loket membantu mengambil dan mengembalikan kelebihannya. Dengan jelas petugas tersebut menunjukkan detail tiketnya. Jam keberangkatan, nomor kursi, harga tiket juga stasiun tujuan. Pastikan jika membeli tiket untuk mendapatkan nomor kursi. Karena jarak Bangkok ke Ayutthaya dapat ditempuh selama 1-2 jam perjalanan. Bentuk tiketnya masih selembar kertas seperti tiket bus.
Sebenarnya jadwal kereta ke Ayutthaya tertera jelas pada papan informasi stasiun. Hanya saja saya tidak memperhatikan sejak awal. Ada beberapa kereta api yang bisa mengantar kita kesana. Di jadwal terlihat ada tipe kereta Ordinary, Special Express, Rapid, Express. Perbedaan kereta api inilah yang membedakan kecepatan dan fasilitasnya. Karena jarak antara Bangkok dan Ayutthaya, saya memilih Ordinary. Pun jadwal kereta ini yang paling dekat saat itu. Belakangan ketika sampai di Ayutthaya saya baru tahu kalau tujuan saya hanyalah perlintasan kereta api. Kereta-kereta menuju Chiang Mai juga akan melintasi Ayutthaya. Karena jadwal keberangkatan kereta api sudah dekat maka saya putuskan untuk tidak singgah ke kamar mandi.
Baca Juga: Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)
Petugas di lintasan kereta api sangat ramah dan cekatan. Bahasa Inggris mereka bahkan sangat mahir, dengan tenang dan jelas mereka memberikan informasi kereta mana yang akan saya naiki. Padahal saya hanya menunjukkan selembar kertas tiket saja. Kereta yang akan saya naiki sudah terlihat ramai. Mudah saja untuk menemukan nomor kursi yang tertera dalam tiket. Jika naik kereta ordinary, bayangan akan kembali pada nostalgia naik KRD dari Kiara Condong ke Rancaekek. Kereta api tanpa jendela dengan pengguna yang padat sekali. Kereta yang saya naiki juga terlihat sangat padat hari ini. Untungnya ada rak dari teralis besi untuk menyimpan tas pada bagian atas. Keretanya sangat bersih, jendela yang digunakan sangat besar dan tidak diberikan kaca. Ini memberikan celah kepada angin untuk berhembus masuk. Sehingga suasa panas Bangkok siang itu sedikit terlupakan. Beberapa masyarakat yang naik terpaksa menggeser orang lain yang sudah duduk sebelumnya. Hal ini karena nomor bangku mereka digunakan oleh orang lain. Itu kenapa saya mendorong kalian untuk menanyakan nomor bangku sebelum membeli tiket. Meski jarak Bangkok ke Ayutthaya hanya 100km, tapi 1-2 jam akan terasa juga dalam perjalanan.
Kereta ke Ayutthaya
Belum lagi 10 menit berlalu, petugas kereta api datang dan memeriksa tiket perjalanan. Kondektur ini juga yang kemudian membantu orang-orang tua dan ibu ibu untuk mendapatkan tempat duduk. Pemeriksaan tiket dilakukan secara manual. Tiket kemudian dilubangi dengan besi yang menyerupai tang. Setelah beberapa stasiun, kereta menjadi padat dan penuh sesak. Untungnya kereta ini bersih dan tidak bau. Jadi kita tetap merasa aman untuk berada di dalamnya. Karena melihat ada ibu-ibu yang naik di Stasiun Don Mueang, akhirnya bangku yang saya tempati saya berikan kepadanya. Tentunya dengan menggunakan bahasa isyarat karena saya tak mengerti bahasa Thailand. Beberapa tahun sebelumnya saya pernah menggunakan stasiun ini ketika akan terbang dari Bandara Don Mueang ke Polonia, Medan. Stasiun ini terkoneksi dengan Bandara Don Mueang.
Stasiun Ayutthaya
Panasnya suasana Thailand pagi menjelang siang itu dikalahkan oleh angin sepoi-sepoi yang masuk ke dalam kereta api. Sehingga saya tidak sadar bahwa sebenarnya kereta ini tidak mempunyai mesin pendingin ruangan. Setelah perjalanan dua jam lamanya, akhirnya saya tiba di Stasiun Ayutthaya. Dengan cepat saya bergegas menuju toilet. Kamar mandi disini sangat luas dan besar. Sangat cocok digunakan untuk membersihkan diri. Lokas kamar mandi tepat di sebelah kanan gedung stasiun. Akhirnya badan kembali segar setelah selesai mandi.
Stasiun Ayutthaya
Waktu menunjukkan hampir pukul 11 siang. Rasa lapar kembali melanda. Tepat di depan stasiun terlihat ada sebuah kedai nasi khas Thailand. Di kedai nasi tersebut kemudian saya pesan sepiring nasi dan telur dadar.
"Rice and omelet, please"
"only it?" Jawab bibi penjual.
"Ya, i have Randang" jawabku singkat
"Rendang, What is this?"
"Oh this is meat from West Sumatera, Indonesia" jawabku ramah.
"Owh oke, 40 Baht"
Nasi Telur Dadar dan Rendang Paku
Butuh beberapa saat untuk bibi ini menyajikan makanan yang saya pesan. Sepiring nasi panas juga selembar telur dadar panas untuk sarapan pagi ini. Jika sedang melakukan perjalanan saya kerap membawa Randang Paku Rang Kito khas Dharmasraya, Sumatera Barat. Sesuai dengan namanya, Randang Paku Rang Kito ini menggunakan tanaman Pakis sebagai bahan baku utamanya. Makanan ini sangat praktis untuk dibawa kemana mana. Tidak perlu dipanaskan, dan bisa langsung dimakan. Harganya juga terbilang murah dan ramah di kantong kita. Kenapa ini juga kerap saya bawa, karena butuh waktu untuk lidah saya bisa beradaptasi dengan makanan di daerah lain. Setelah selesai sarapan saya kembali mendatangi bibi dan membayar makanan yang telah dipesan. Di samping kedai tersebut terlihat beberapa abang ojek yang santai menunggu pelanggan. Sembari menunjukkan foto What Maha That saya mencoba menawar ongkos ojek kesana. Beliau menawarkan 50Baht, saya tawar 30Baht, dan akhirnya cocok di 40Baht. Lumayanlah 20ribu rupiah, daripada berjalan kaki di bawah terik matahari. Hingga akhirnya saya dibawa ke bangunan kuil yang besar. Seperti tempat sembahyang di Hatyai kemarin. Bedanya, disini sangat ramai didatangi pengunjung. Setelah menerima kembalian 10Baht, akhirnya saya mulai menikmati Ayutthaya. Dan sempat tercengang, seperti sedang berada di Bagan, Myanmar atau sedang ke Angkor Wat. Tapi apapun itu, senang bisa menikmati keindahan Ayutthaya, salah satu Warisan Budaya Dunia yang diakui oleh UNESCO.
Comments
Post a Comment