Masyarakat Indonesia pada umumnya pulang ke kampung halaman ketika Hari Raya Idul Fitri tiba. Momen mudik tersebut dijadikan sebagai ajang untuk melepas rindu sekaligus bersilaturahmi dengan sanak keluarga. Momen ini tentunya sangat ditunggu oleh para perantau di berbagai penjuru negeri. Oleh karena pertemuan ini terbilang langka, maka tidak jarang di berbagai daerah Indonesia melaksanakannya dengan kegiatan-kegiatan tertentu.
Seperti halnya yang dilaksanakan oleh masyarakat beberapa Pekon (Desa) di Kabupaten Lampung Barat. Menjelang Hari Raya Idul Fitri mulai terlihat aktifitas masyarakat yang tidak seperti biasanya. Pemuda-pemudi pekon yang tergabung dalam Karang Taruna bergotong royong untuk menyiapkan panjat pinang dan panggung hiburan. Menjadi semakin unik karena bagi masyarakat Indonesia, panjat pinang hanya ada pada saat peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Aktifitas ini terlihat dengan mudah pada media sosial dari masing-masing pekon. Tentunya hadiah yang disediakan dalam panjat pinang serta seluruh biaya kegiatan yang dibutuhkan berasal dari swadaya masyarakat. Setiap pekon akan mengirimkan undangan kegiatan kepada pekon lainnya. Meski demikian, tidak jarang kegiatan ini akan terselenggara bersamaan dengan pekon lainnya. Hal ini disebabkan karena penyelenggaraannya hanya berlangsung dari tanggal 1 – 6 Syawal saja. Setelah hari kalender tersebut biasanya para perantau sudah kembali ke perantauannya.
Sekura terdiri dari 2 jenis yaitu Sekura Betik dan Sekura Kamak. Sekura Betik menyamarkan diri menggunakan kain tenun, kain sarung dan pakaian yang rapih serta bersih. Sedangkan Sekura Kamak lebih cenderung berantakan dan tidak rapi. Sekura Kamak akan menggunakan topeng yang terbuat dari kayu, serat serabut ijuk dan topeng lainnya. Mereka juga menggunakan pakaian kotor dan compang-camping. Sekura Kamak juga identik membawa ranting pohon, semak belukar dan pohon pisang dalam penyamarannya. Sekura Kamak kerap meniru karakter anak-anak, perempuan hamil, dan orang tua yang renta. Meskipun secara fisik kedua Sekura tersebut berbeda, tetapi mereka mempunyai kesamaan dalam menggunakan warna-warna yang mencolok dan membawa pedang, pisau belati atau tongkat. Keunikan lainnya adalah setiap Sekura akan berbicara menggunakan suara yang disamarkan. Sehingga kita tidak akan mengetahui secara pasti siapa orang-orang dibalik topeng Sekura tersebut.
Sekura dalam perjalanan sejarahnya berawal dari pertikaian perang saudara. Sehingga setiap orang yang berperang menyamarkan diri mereka dengan kain dan semak belukar. Sekura juga berkaitan dengan kepercayaan masyarakat di sekitar Gunung Pesagi, Lampung Barat. Masuknya peradaban Islam tidak lantas menghilangkan tradisi topeng tersebut. Sekura menjadikan kita untuk mampu berkaca diri terhadap apa yang kita lihat selama ini.
Pekon yang menjadi tuan rumah tentunya tidak akan menggunakan atribut Sekura. Tuan rumah akan menyediakan panggung hiburan dan Cakak Buah (petik buah / panjat pinang) yang diperuntukkan kepada setiap Sekura yang datang dari Pekon lainnya.
Dentuman musik dari pengeras suara di Pekon Kenali sebagai tuan rumah semakin meninggi. Pertanda ada rombongan Sekura yang berdatangan. Dari kejauhan terlihat simbol-simbol Sekura Pekon Kota Besi, Sekura HRK Canggu, Sekura Pekon Balak Batu Brak, GRC Mania Pekon Kegeringan, Sekura SQD Anker, Sekura Pekon Bakhu dan rombongan Sekura lainnya. Mereka beriringan berkumpul ke depan panggung hiburan. Sekura menari seiring musik yang disajikan. Mereka juga meninggalkan ranting pohon, semak belukar dan juga pohon pisang di depan panggung. Beberapa punggawa Sekura naik ke panggung bersama dengan atribut benderanya. Mereka menyampaikan salam silaturahmi kepada tuan rumah. Layaknya orator ulung, Sekura yang ditunjuk menyampaikan undangan Sekura Cakak Buah di Pekonnya nanti. Orator ulung tersebut juga menyampaikan tagline rombongannya yang membangun seperti “Dang Cawa Khuta (Jangan Berbicara Kotor)”. Tingkah laku dan suara Sekura yang lucu kerap menimbulkan gelak tawa para pengunjung. Lantunan lagu yang dibawakan juga kerap diganti menjadi lirik-lirik sindiran yang halus. Hal ini juga yang menambah semarak riuh rendah gelaran Sekura. Meskipun kegiatan Sekura ini melibatkan ribuan orang, tetapi tidak pernah sampai terjadi gesekan antar Pekon. Setelah rombongan Sekura sebuah Pekon menari dan bernyanyi, mereka meninggalkan panggung hiburan dan memberi kesempatan kepada rombongan Sekura lainnya.
Sekura yang telah bernyanyi dan menari tidak langsung pulang ke Pekonnya masing-masing. Sembari menunggu waktu panjat pinang, mereka menjajakan hasil bumi dan kerajinan tangan kepada masyarakat setempat. Karena keramahannya, tidak jarang masyarakat mengabadikan gambar dan berswafoto dengan para Sekura. Masyarakat juga tidak sungkan untuk meminta Sekura untuk bernyanyi dan menari, tentunya mereka akan memberikan saweran setelahnya. Tidak hanya Sekura, masyarakat sekitar juga memanfaatkan ajang ini untuk turut serta menjual makanan dan minuman di halaman rumah mereka.
Menjelang sore semua Sekura yang hadir telah berkunjung ke panggung hiburan. Tuan rumah menentukan lokasi panjat pinang kepada setiap Sekura yang hadir. Hadiah yang disediakan ibarat suguhan kepada setiap tamu. Hal ini yang menambah keseruan pergelaran Sekura di Kabupaten Lampung Barat.
Sekura
ibarat gelaran Haloween di tempat lain. Pembedanya adalah Sekura menjadi media
silaturahmi dan bermaaf-maafan. Kita tidak akan pernah tahu kepada siapa
meminta dan memberi maaf. Niat yang tulus menjadikan Sekura sebuah budaya silaturahmi
di Lampung Barat dengan kearifan lokal. Semoga budaya ini akan berlangsung
secara terus menerus hingga generasi mendatang.
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat mengabadikan Sekura dalam bentuk Tugu Sekura. Lokasinya tidak jauh dari pusat kota Liwa. Jika kalian berkunjung ke Liwa, jangan lupa untuk singgah ke Tugu Sekura.
Comments
Post a Comment